Pada masa sekarang bermunculan banyak fonemena tentang jilbab (kerudung) khususnya pada kalangan remaja dan pelajar.Banyak opini yang terlontar mengenai perlu atau penting dan tidaknya sebuah kerudung bagi kaum hawa. Memang perlu pendalaman yang lebih untuk mengkaji hal ini. Sering terjadi pro dan kontra mengenai hal dalam pemakaian jilbab (kerudung) dikalangan perempuan. Dikalangan perempuan pun masih terjadi gejolak dengan berbagai pertanyaan untuk apa sih memakai kerudung?,,apa harus seorang wanita memakai kerudung?. Mungkin karna hal demikian sedikit saya akan mengupas tentang peranan jilbab (kerudung) pada seorang perempuan khusunya umat muslim, saya menyali dari buku karangan KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam bukunya yang berjudul “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, yang mengambil topik Kerudung Dan Kesadaran Beragama.
Kerudung adalah pemandangan biasa di kalangan kaum muslim yang taat beragama. Tidak semua wanita muslim yang dikenal dengan sebutan muslimat, mengenakannya. Namun porsi pemakaianya cukup besar guna melekatkan predikat “biasa” diatas. Ke pasar, masjid, maupun pesta dan upacara, pendeknya kesemua keperluan di luar rumah kerudung selalu dipakai. Begitu juga dirumah , kalau sedang ada tamu.
Ada yang warna-warni, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah, ada juga yang polos, hanya pinggiranya saja yang disentuh benang jahitan. Ada yang memang dipakai untuk menutup rambut seluruhnya, namun tidak kurang pula yang hanya disangkutkan saja pada bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata ke seluruh sanggul yang memahkotai kepala. Apalagi kalau sanggul di “disasak” lebar-lebar dengan diameter tidak kurang dari ban skuter Vspa atau Bajaj!. Biasanya yang begini adalah tanda krisis identitas, tidak berani meninggalkan diri sebagai muslimat, tapi enggan disebut kampungan.
Tidak disangka tidak dinanya, penggunaan kerudung dapat juga menimbulkan pertentangan pendapat, antara mereka yang menentang dan mempertahankan. Tidak terduga sebelumnya kerudung menjadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial.
Padahal tadinya masalah penggunaan kerudungdianggap masalah sepele saja. yang masih kuat bertahan pada identitas “kesantrian” terus memakainya, yang sudah tidak merasa perlu sudah tentu meninggalkanya. Juga ada peragu yang menggunakanya di atas bahu waktu ada pesta dan upacara.
ketika seorang anutan yang dianggap
Apa gerangan yang membuat pemakai kerudung menjadi masalah peka, padahal sekian lama ia “dibiarkan” pada keputusan pribadi masing-masing di kalangan kaum muslimat.
Masalahnya berkisar pada munculnya kerudung itu sendiri sebagai simbol. Selama ini, simbol tersebut, simbol ketaatan beragama bagi yang memakai dan simbol “kekampungan” bagi yang tidak mengenakanya, hidup berdampingan secara damai. Masing-masing berkembang di dunianya sendiri, bagaikan polisi dan pencuri, seirama dengan pelapisan masyarakat begitu ruwet dan kompleks. Tidak ada pertentangan terbuka, tidak pernah didiskusikan perlu atau tidaknya menggunakan kerudung. Apalagi dilokakaryakan atau diseminarkan.
Masalahnya menjadi berbeda , ketika berkembang sebuah kesadaran barudi kalangan remaja muslim. Mereka adalah generasi yang serius melihat segala sesuatu dalam hidup ini, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkan masing-masing. Begitulah, ketiaka seorang anutan yang dianggap memiliki wewenang penuh untuk merumuskan “kebenaran agama” memerintahkan remaja asuhanya untuk memelihar “aurat” berdasarkan ketentuan Islam. Dengan serta merta anjuran ini diikuti, termasuk oleh siswa SMA lalu mengenakan kerudung di lingkunagan sekolah. Sudah tentu “pemandangan” tidak biasa, jauh dari kebiasaan berseragam sekolah tanpa tutp kepala sama sekali.
Dua hal “dilanggar” oleh perbuatan itu. Pertama “konsensus” selama ini, yang juga tiadak didasari dahulu, bahwa kerudung bukanya yang “layak”untuk siswi-siswi sekolah nonagama. Kedua, kecendungan pada uniformitas sikap dan perilaku, yang dicoba untuk “ditegakan” oleh lingkungan pendidikan kita. Dari pesuruh sampai Menteri P dan K, besar sekali kelihatanya untuk menyeragamkan pandangan, sikap ,dan perilaku ” keluarga besar pendidikan nasional”.
Sudah tentu “konsesus” dan kecenderunagnya di atas segera mengeluarkan reaksi balik atas prakarsa sisiwi SMA yang menggunakan kerudung pergi ke sekolah itu Dapat diterka senjata utama, yang digunakan pihak pimpina sekolah adalah “pelanggaran disiplin”. Benar saja, atas dlih itu sang siswi itu dikeluarkan dari sekolahnya.
Pemecatan dapat dilakukan, selama ada kesamaan pandangan antara pihak “penegak disiplin” dan pihak-pihak lain diluar. Berarti didalam kasus-kasus dimana ada kejelasan bahwa si”pelaggar disiplin” memang bersalah atas persetujuan universal semua pihak.
Kesulitanya adalah kalau cukup banyak jumlah orang yang tidak sependapat, seperti dalam kasus kerudung di Bandungbaru-baru ini. Lalu disebutkanlah hal-hal yang meragukan kebenaran tindakan disipliner yang dijatuhkan atas diri “siswi berkerudung” itu. Pelanggaran hak pribadi siswi untuk mengenakan pakaian yang disenaginya tuduhan pimpinan sekolahan bersikap “memusuhi Islam” dan lain-lain tuduhan lagi, semua dilemparkan seenaknya.
Apa yang dilupakan kebanyak orang adalah penglihatan global pada masalah kerudung itu. Ia tidal lain adalah pencemaran dari kuatnya tuntunan di kalangan remaja muslim, agar ajaran Islam dilakukan secara tuntas dan konsekuen. Ia adalah bagian dari ketekunan yang semakin bertambah untuk meramaikan masjid, merumuskan “sikap Islam” terhdap berbagai masalah dan keberangan terhadap apa yang digeneralisasikan sebagai “pandangan-pandangan sekularistik”di kalangan kaum muslim sendiri. Kasus kerudung adalah bagian dari meningkatnya kesadaran beragama di kalangan kaum remaja muslim dewasa ini.
Kesadaran itu muncul dari banyak sebab. Diantaranya adalah kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologiilmu pengetahuan modern, yang diredusir kedudukan menjadi hamba kekuasaan modal saja, tanpa membawa perbaikan mendasar atas tingkat kehidupan manusia. Juga kekecewaan melihat terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas persoalan utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka terhadap kegagalan elite kaum muslimin di seluruh dunia, yang tidak mampu meningkatkan derajat agama mereka di hadapan tantangan “pihak luar” terhadap Islam.
Dapat dimengerti kalau kesadaran itu juga mempunyai imbas fisik atas perilaku para remaj muslim dimana-mana termasuk mereka yang lalu memelihara jenggot dan memakai kerudung. Perilaku seperti itu tidak sepatutnya diremehkan dan disepelekan, karena itu merupakan bagian dari kesadaran untuk menegakan Islam sebagai “jalan hidup”. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasai holistik seperti itu, namun dihargai sebagai upaya untuk menemukanIslam dalam kebulatan dan keutuhan, jadi motifnya berwatak transendental.
Kalau tidak diperhitungkan “tindakan disipliner” ata “pelanggaran gadis berkerudung”di salah satu dari sudut kesadaran beragamaini, terlepas dari keputusan apa yang akan diambil, maka sebenarnya tindakan itu tidak memecahkan masalah. Ia hanya menunda atau memindahkan masalah saja. Kasus-kasus serupa akan tetap muncul dengan intensitas dan implikasi yang mungkin semakin gawat bagi masa depan kita semua sebagai bangsa.
Dari wacan diatas mungki saya bisa mengambil sedikit kesimpulan tentang masalah pemakaian kerudung di kalangan remaja dan pelajar. Menurut saya pemakaian sebuah kerudung bukanlah suatu paksaan, karna dalam Islam pun tak ada paksaan, semua bersifat suka rela. Bila anda merasa benar dengan keyakinan anda bahwa sebagai seorang muslim harus (wajib) memakai kerudung (jilbab) maka jangan menyalahka kaum muslim yang lainya yang tidak memakai jilbab (kerudung) apalagi sampai terjadi pemaksaan dikarenakan keyakinan anda akan sebuah kebenaran yang anda percayai. Karena memakai jilbab (kerudung) bukan hanya karna ingin menunjukan eksistensinya sebagai hambaNya yang taat dan sebagai umat Islam, melainkan sebagai kesadaran menjadikan Islam sebagai “jalan hidup”. dan dari sebuah kesadaran pulalah yang akhirnya akan membawa kita pada suatu pemikiran tenteng perlunya jilbab (kerudung) pada kaum perempuan.
Sumber : http://ulfamvn.blogspot.com/2013/01/untuk-apa-meributkan-kerudung.html
Kerudung adalah pemandangan biasa di kalangan kaum muslim yang taat beragama. Tidak semua wanita muslim yang dikenal dengan sebutan muslimat, mengenakannya. Namun porsi pemakaianya cukup besar guna melekatkan predikat “biasa” diatas. Ke pasar, masjid, maupun pesta dan upacara, pendeknya kesemua keperluan di luar rumah kerudung selalu dipakai. Begitu juga dirumah , kalau sedang ada tamu.
Ada yang warna-warni, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah, ada juga yang polos, hanya pinggiranya saja yang disentuh benang jahitan. Ada yang memang dipakai untuk menutup rambut seluruhnya, namun tidak kurang pula yang hanya disangkutkan saja pada bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata ke seluruh sanggul yang memahkotai kepala. Apalagi kalau sanggul di “disasak” lebar-lebar dengan diameter tidak kurang dari ban skuter Vspa atau Bajaj!. Biasanya yang begini adalah tanda krisis identitas, tidak berani meninggalkan diri sebagai muslimat, tapi enggan disebut kampungan.
Tidak disangka tidak dinanya, penggunaan kerudung dapat juga menimbulkan pertentangan pendapat, antara mereka yang menentang dan mempertahankan. Tidak terduga sebelumnya kerudung menjadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial.
Padahal tadinya masalah penggunaan kerudungdianggap masalah sepele saja. yang masih kuat bertahan pada identitas “kesantrian” terus memakainya, yang sudah tidak merasa perlu sudah tentu meninggalkanya. Juga ada peragu yang menggunakanya di atas bahu waktu ada pesta dan upacara.
ketika seorang anutan yang dianggap
Apa gerangan yang membuat pemakai kerudung menjadi masalah peka, padahal sekian lama ia “dibiarkan” pada keputusan pribadi masing-masing di kalangan kaum muslimat.
Masalahnya berkisar pada munculnya kerudung itu sendiri sebagai simbol. Selama ini, simbol tersebut, simbol ketaatan beragama bagi yang memakai dan simbol “kekampungan” bagi yang tidak mengenakanya, hidup berdampingan secara damai. Masing-masing berkembang di dunianya sendiri, bagaikan polisi dan pencuri, seirama dengan pelapisan masyarakat begitu ruwet dan kompleks. Tidak ada pertentangan terbuka, tidak pernah didiskusikan perlu atau tidaknya menggunakan kerudung. Apalagi dilokakaryakan atau diseminarkan.
Masalahnya menjadi berbeda , ketika berkembang sebuah kesadaran barudi kalangan remaja muslim. Mereka adalah generasi yang serius melihat segala sesuatu dalam hidup ini, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkan masing-masing. Begitulah, ketiaka seorang anutan yang dianggap memiliki wewenang penuh untuk merumuskan “kebenaran agama” memerintahkan remaja asuhanya untuk memelihar “aurat” berdasarkan ketentuan Islam. Dengan serta merta anjuran ini diikuti, termasuk oleh siswa SMA lalu mengenakan kerudung di lingkunagan sekolah. Sudah tentu “pemandangan” tidak biasa, jauh dari kebiasaan berseragam sekolah tanpa tutp kepala sama sekali.
Dua hal “dilanggar” oleh perbuatan itu. Pertama “konsensus” selama ini, yang juga tiadak didasari dahulu, bahwa kerudung bukanya yang “layak”untuk siswi-siswi sekolah nonagama. Kedua, kecendungan pada uniformitas sikap dan perilaku, yang dicoba untuk “ditegakan” oleh lingkungan pendidikan kita. Dari pesuruh sampai Menteri P dan K, besar sekali kelihatanya untuk menyeragamkan pandangan, sikap ,dan perilaku ” keluarga besar pendidikan nasional”.
Sudah tentu “konsesus” dan kecenderunagnya di atas segera mengeluarkan reaksi balik atas prakarsa sisiwi SMA yang menggunakan kerudung pergi ke sekolah itu Dapat diterka senjata utama, yang digunakan pihak pimpina sekolah adalah “pelanggaran disiplin”. Benar saja, atas dlih itu sang siswi itu dikeluarkan dari sekolahnya.
Pemecatan dapat dilakukan, selama ada kesamaan pandangan antara pihak “penegak disiplin” dan pihak-pihak lain diluar. Berarti didalam kasus-kasus dimana ada kejelasan bahwa si”pelaggar disiplin” memang bersalah atas persetujuan universal semua pihak.
Kesulitanya adalah kalau cukup banyak jumlah orang yang tidak sependapat, seperti dalam kasus kerudung di Bandungbaru-baru ini. Lalu disebutkanlah hal-hal yang meragukan kebenaran tindakan disipliner yang dijatuhkan atas diri “siswi berkerudung” itu. Pelanggaran hak pribadi siswi untuk mengenakan pakaian yang disenaginya tuduhan pimpinan sekolahan bersikap “memusuhi Islam” dan lain-lain tuduhan lagi, semua dilemparkan seenaknya.
Apa yang dilupakan kebanyak orang adalah penglihatan global pada masalah kerudung itu. Ia tidal lain adalah pencemaran dari kuatnya tuntunan di kalangan remaja muslim, agar ajaran Islam dilakukan secara tuntas dan konsekuen. Ia adalah bagian dari ketekunan yang semakin bertambah untuk meramaikan masjid, merumuskan “sikap Islam” terhdap berbagai masalah dan keberangan terhadap apa yang digeneralisasikan sebagai “pandangan-pandangan sekularistik”di kalangan kaum muslim sendiri. Kasus kerudung adalah bagian dari meningkatnya kesadaran beragama di kalangan kaum remaja muslim dewasa ini.
Kesadaran itu muncul dari banyak sebab. Diantaranya adalah kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologiilmu pengetahuan modern, yang diredusir kedudukan menjadi hamba kekuasaan modal saja, tanpa membawa perbaikan mendasar atas tingkat kehidupan manusia. Juga kekecewaan melihat terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas persoalan utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka terhadap kegagalan elite kaum muslimin di seluruh dunia, yang tidak mampu meningkatkan derajat agama mereka di hadapan tantangan “pihak luar” terhadap Islam.
Dapat dimengerti kalau kesadaran itu juga mempunyai imbas fisik atas perilaku para remaj muslim dimana-mana termasuk mereka yang lalu memelihara jenggot dan memakai kerudung. Perilaku seperti itu tidak sepatutnya diremehkan dan disepelekan, karena itu merupakan bagian dari kesadaran untuk menegakan Islam sebagai “jalan hidup”. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasai holistik seperti itu, namun dihargai sebagai upaya untuk menemukanIslam dalam kebulatan dan keutuhan, jadi motifnya berwatak transendental.
Kalau tidak diperhitungkan “tindakan disipliner” ata “pelanggaran gadis berkerudung”di salah satu dari sudut kesadaran beragamaini, terlepas dari keputusan apa yang akan diambil, maka sebenarnya tindakan itu tidak memecahkan masalah. Ia hanya menunda atau memindahkan masalah saja. Kasus-kasus serupa akan tetap muncul dengan intensitas dan implikasi yang mungkin semakin gawat bagi masa depan kita semua sebagai bangsa.
Dari wacan diatas mungki saya bisa mengambil sedikit kesimpulan tentang masalah pemakaian kerudung di kalangan remaja dan pelajar. Menurut saya pemakaian sebuah kerudung bukanlah suatu paksaan, karna dalam Islam pun tak ada paksaan, semua bersifat suka rela. Bila anda merasa benar dengan keyakinan anda bahwa sebagai seorang muslim harus (wajib) memakai kerudung (jilbab) maka jangan menyalahka kaum muslim yang lainya yang tidak memakai jilbab (kerudung) apalagi sampai terjadi pemaksaan dikarenakan keyakinan anda akan sebuah kebenaran yang anda percayai. Karena memakai jilbab (kerudung) bukan hanya karna ingin menunjukan eksistensinya sebagai hambaNya yang taat dan sebagai umat Islam, melainkan sebagai kesadaran menjadikan Islam sebagai “jalan hidup”. dan dari sebuah kesadaran pulalah yang akhirnya akan membawa kita pada suatu pemikiran tenteng perlunya jilbab (kerudung) pada kaum perempuan.
Sumber : http://ulfamvn.blogspot.com/2013/01/untuk-apa-meributkan-kerudung.html