Sarah Widyanti Kusuma (24), gadis yang pernah menjajaki dirinya di kontes Indonesian idol ini saat ini menerbangkan pesawat jenis boeing. Jam terbangnya pun tak tanggung- tanggung, sudah 2200 jam terbang ia catat di angkasa.
Dara cantik kelahiran 3 Maret 1988 ini telah mengangkasa memimpin pesawatnya sejak umur 21 tahun. Iapun tercatat sebagai pilot termuda di maskapai Garuda Indonesia. Lalu apakah dengan tubuh mungil dan paras cantiknya, Sarah sering mendapatkan cibiran? Justru tidak. Wanita cantik ini ternyata memiliki sifat yang tomboy sejak kecil.
Sifat tomboi itu ternyata berlanjut ketika ia menjadi satu-satunya siswa perempuan di Sekolah Tinggi Ilmu Penerbangan Curug (STPI). Di STPI, Sarah harus tampil seperti ayam jago, julukan bagi anak laki-laki siswa STPI.
Kini, Sarah kembali sekolah untuk persiapan pindah pesawat dari tipe pesawat kecil, Boeing, ke tipe yang lebih mutakhir, Airbus. Setelah tahapan dua bulan sekolah ini dilalui, Sarah akan menerbangkan Airbus ke rute menuju Jepang, Korea, Australia, China, Belanda, Uni Emirat Arab, dan Jeddah.
Biografi Pilot Cantik Termuda Indonesia
Percaya atau tidak, di usia 21 tahun ternyata gadis manis ini telah menerbangkan pesawat jenis Boeing ! Dan kini pilot termuda di maskapai Garuda Indonesia ini pun sudah berencana menerbangkan pesawat Airbus yang lebih besar dan mutakhir. Saat ini Sarah Widyanti Kusuma telah mengantongi 2.200 jam terbang. Menjumpai gadis kelahiran 3 Maret 1988 yang juga jebolan Indonesian Idol dan mantan SPG ini, seperti bukan berhadapan dengan seorang pilot. Tubuhnya mungil dengan senyum yang terus tersungging, sering kali membuat orang "tertipu". Meski sudah memakai seragam pilot pun, penumpang selalu salah kira dan menduganya sebagai pramugari.
Sarah takkan pernah lupa saat-saat menegangkan yang menentukan kariernya. Saat melewati tes mental penerimaan siswa penerbang Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug. Pada awal 2007, Sarah menjadi satu-satunya siswa wanita yang lolos dalam seleksi penerimaan calon pilot di sekolah itu. Selama dua tahun dua bulan, ia belajar mengemudikan pesawat. Dan begitu lulus tahun 2009, langsung menerima pinangan sebagai pilot Garuda Indonesia. Kini, Sarah kembali sekolah untuk persiapan pindah pesawat dari tipe pesawat kecil, Boeing, ke tipe yang lebih mutakhir, Airbus.
Setelah tahapan dua bulan sekolah ini dilalui, Sarah akan menerbangkan Airbus ke rute menuju Jepang, Korea, Australia, China, Belanda, Uni Emirat Arab, dan Jeddah. "Pesawat Airbus canggih banget. Sampai sekarang saya masih wow! Untuk utak-atiknya harus belajar ekstra, sama kayak nerbangin komputer. Canggih banget," kata Sarah dengan mata berbinar.
Di sela kesibukan mempersiapkan diri menjadi pilot Airbus itulah, Sarah menyediakan waktu untuk berbincang di rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan. Saking lelahnya belajar, Sarah masih tertidur di sofa pojok ruang tamu rumahnya ketika ibu dan adik-adiknya sudah bersiap jalan-jalan di akhir pekan.
Matanya langsung berbinar ketika diajak berbicara soal profesinya. ”Yang membuat bersemangat, pesawatnya canggih dan kita yang mengoperasikan,” tambahnya.
Puteri sulung Nazaruddin dan Telis Cahyati ini sama sekali tak menyangka kalau dirinya bisa menjadi satu dari dua perempuan pilot pesawat Boeing di maskapai penerbangan Garuda dan sebelumnya bekerja sebagai pramuniaga.
Sarah serasa bermimpi, bila dia kembali melihat ke lembaran hidupnya di masa lalu. Keluarganya bukan orang berada. Meski demikian, pendidikan menjadi perhatian utama dari orang tuanya. Masih diingat dengan jelas oleh perempuan kelahiran Bandung, 3 Maret 1988 itu, bagaimana ayah-ibunya memasukkannya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta yang biayanya mahal. Mereka ingin putrinya mendapat nilai akademis yang bagus, tetapi juga pengetahuan agama yang baik.
Tamat dari sana, Sarah minta masuk ke sekolah negeri saja, karena ia tahu orang tuanya telah memaksakan diri untuk itu. Ia sadar masih ada keempat adiknya yang mesti diperhatikan juga. Rupanya keputusan Sarah untuk masuk ke sekolah negeri adalah pilihan yang tepat, karena ternyata keadaan ekonomi keluarganya semakin goyah. Perusahaan tempat ayahnya bekerja jatuh pailit. Uang tabungan keluarga terpakai, hingga akhirnya ibunya membuka warung sembako agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga.
Jadi SPG
Singkat cerita, pada 2005 Sarah lulus Sekolah Menengah Atas, Tangerang. Sadar benar akan kondisi keuangan keluarga, ia sengaja mencari perguruan tinggi yang kelak memberinya penghasilan besar, tapi juga ada beasiswa.
Ia mendaftar ke Fakultas Kedokteran, tapi ternyata gagal. Sarah tak putus asa, ia lalu mencari sekolah bersubsidi lainnya, yaitu Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) di Curug, Tangerang. Pendidikan disini bersubsidi dari pemerintah. Ia jalan sendiri ke sana, mendaftar ke jurusan Teknik Pesawat Udara, karena saat itu belum ada jurusan penerbangan. Sayang, ia lagi-lagi tidak berhasil. Sempat orang tuanya berniat menjual rumah saja untuk membiayai kuliahnya, tapi Sarah menolak. Ia tak mau banyak orang mesti berkorban demi dia.
“Saya tak mau memaksakan kehendak, meski ekonomi keluarga makin buruk. Ibu sampai harus mencari uang dengan berdagang sembako di rumah,” kata Sarah yang ketika itu dengan ikhlas menolong ibunya. Ia ke agen di pasar, menyusuri lorong-lorong yang becek dan licin setiap hari untuk berbelanja kebutuhan warung kecil ibunya. Ya, dari selisih harga itulah Ibunya mengumpulkan uang untuk biaya hidup keluarga.
“Saya terus memikirkan cara bagaimana bisa mendapatkan uang untuk kuliah tahun depan. Suatu hari Ibu menunjukkan iklan lowongan jadi bintang iklan, model dan pemain sinetron. Saya langsung setuju untuk ikut tes. Pikir saya, jadi model pasti uangnya lumayan, dan bisa saya tabung untuk kuliah,” kenang Sarah.
Ditemani ibunya, Sarah mendaftar dan ikut tes. Ternyata panggilan yang datang bukan untuk pemotretan iklan, melainkan jadi pramuniaga atau sales promotion girl yang lebih kondang dibilang orang dengan singkatan SPG. Semula ia ingin menolak tawaran itu, tapi demi mengumpulkan uang kuliah, tawaran itu pun diterimanya. Pertama kali, ia menjadi SPG dari sebuah perusahaan komputer lokal di Electronic City Lippo, Karawaci, Tanggerang. Perempuan tomboy yang terbiasa memakai setelan celana panjang itu tahu-tahu mesti berdandan luwes, memakai rok dan harus ramah menawarkan produk kepada calon pembeli.
Tapi Sarah berusaha beradaptasi, dan nyatanya ia mampu menjalani pekerjaan itu selama delapan bulan. Termasuk juga menepis godaan yang datang dari pria iseng mengajaknya kenalan hingga mengantarnya pulang. Maklum, jam kerja SPG di pusat perbelanjaan baru pulang hingga pukul 12 malam. Sarah merasa takut sekali, tapi ia menepisnya dengan doa. Pada ibunya, ia tak bercerita soal godaan-godaan lelaki ini, karena ia khawatir ibunya cemas.
“Gaji SPG 1,1 juta rupiah per bulan, lalu bonus antara Rp300.000 hingga Rp500.000 kalau berhasil melampaui target. Pendapatan yang terbilang pas-pasan, namun saya jalani dengan ikhlas,” katanya. “Uang saya tabung dan saya bisa kuliah di UPI YAI,Fakultas Fikom Jurusan Hubungan Masyarakat. Kuliah memerlukan biaya tidak sedikit.Akhirnya, saya mengejar target tidak lagi menjadi SPG yang digaji bulanan, melainkan sebagai usher yang digaji per hari bisa mencapai Rp200.000-Rp400.000.”
Pendapatan yang lumayan besar, namun sayang pekerjaan itu paling lama 2-3 hari saja sekali pameran. Ia pun berburu terus lowongan kerja sebagai usher dari berbagai produk seperti minyak wangi, busana dan sebagainya.
Memburu Pendidikan Gratis
Sarah sudah kuliah, tapi ia masih terus memburu sekolah yang bersubsidi dari pemerintah. Ia mencoba lagi ke STPI, dan ternyata pada 2006 ada jurusan penerbangan. Dari panitia ia mendapat informasi kalau jurusan ini yang terbaik. Lulusannya akan menjadi pilot. Sarah langsung mendaftar, lalu mengikuti serangkaian tes. Dari ujian kemampuan akademik, wawancara hingga kesehatan. Khusus untuk jurusan penerbangan, ia harus melalui serangkaian tes, termasuk membawa pesawat terbang.
“Membawa pesawat terbang? Saya bingung bukan kepalang. Seumur hidup saja, saya tidak pernah naik pesawat, tahu-tahu disuruh mengemudikan kapal terbang. Wah, nekat saja, tapi sekaligus terselip rasa bahagia, karena inilah proses awal saya bisa membahagiakan orang tua,” tambah Sarah, lalu tinggal di asrama selama seminggu. “Penguasaan teori dasar penerbangan 3 hari lamanya, lalu dilanjutkan dengan tes penerbangan. Pengalaman membawa pesawat sendiri itu sungguh tak terlupakan dalam hidup saya.”
Pengumuman lulus tes bakat ternyata harus menunggu berbulan-bulan lamanya. Sarah tetap kuliah dan juga bekerja sebagai usher.
Karena tes bakat bertepatan dengan ujian akhir semester di kampus UPI, ia pun terpaksa mengulang beberapa mata kuliah yang tak lulus. Pada akhir 2006 ketika ia sedang menengok neneknya di Bandung, datanglah surat pemberitahuan lulus dari STPI.
“Saya tak percaya ketika dibacakan isi surat itu ,bahwa saya dinyatakan lulus dan bisa bersekolah di STPI. Berkali-kali saya minta dibacakan isi surat itu, lalu berkali-kali pula saya cubit lengan saya untuk memastikan, bahwa saya tidak sedang bermimpi. Ternyata benar, saya lulus. Saya langsung bersimpuh, mengucap syukur pada-Nya. Rupanya selama ini Tuhan punya rencana yang indah untuk saya.
Kuliah disana selama setahun supaya saya bisa masuk ke jurusan penerbangan yang baru dibuka pada tahun itu,” kenang Sarah. Tanggal 13 Januari 2007 Sarah resmi menjadi taruni STPI, satu-satunya perempuan dari 35 taruna yang diterima.
Pendidikan yang diterapkan semi militer, disiplin tinggi dengan latihan fisik yang cukup berat dan melelahkan. Tapi semua itu tak masalah bagi Sarah, karena ia bertekad besar untuk memperbaiki hidup keluarga dan membahagiakan orang tua.
Pada bulan Maret, dua tahun kemudian Sarah lulus kuliah, lalu langsung mendaftar ke maskapai ‘Garuda’. Disana ia juga harus melalui serangkaian tes, lalu mengikuti pendidikan lagi dan kemudian barulah Sarah resmi menjadi pilot.
Sebagai Pilot Rute Domestik
Januari 2010, merupakan hari bersejarah bagi Sarah. Hari itu untuk pertama kalinya ia ditugaskan nembawa pesawat dengan rute domestik. “Tak terbayangkan, saya duduk paling depan, di kokpit sebuah pesawat terbang membawa penumpang sepesawat penuh. Saya ingin berteriak, bilang terima kasih kepada Tuhan YME”, ujar Sarah, riang. Kini, profesi istimewa sebagai pilot telah menjadi bagian dari hidupnya. Tak disangkanya, ia yang semula menjadi SPG menawarkan barang kepada orang-orang, kini menjadi seorang pilot. Profesi serius yang membuat keluarganya bangga dan bersyukur. Sarah juga tak lupa akan pesan ibunya agar terus beribadah dan bekerja sungguh-sungguh. Adik Sarah juga terinspirasi, kelak ingin menjadi pilot.
Sarah Widyanti Kusuma sebuah inspirasi, bahwa cita-cita meraih kehidupan yang lebih baik dapat terwujud dengan kerja keras, gigih, restu orang tua dan doa kepada Sang Khalik. (1003).
Dara cantik kelahiran 3 Maret 1988 ini telah mengangkasa memimpin pesawatnya sejak umur 21 tahun. Iapun tercatat sebagai pilot termuda di maskapai Garuda Indonesia. Lalu apakah dengan tubuh mungil dan paras cantiknya, Sarah sering mendapatkan cibiran? Justru tidak. Wanita cantik ini ternyata memiliki sifat yang tomboy sejak kecil.
Sifat tomboi itu ternyata berlanjut ketika ia menjadi satu-satunya siswa perempuan di Sekolah Tinggi Ilmu Penerbangan Curug (STPI). Di STPI, Sarah harus tampil seperti ayam jago, julukan bagi anak laki-laki siswa STPI.
Kini, Sarah kembali sekolah untuk persiapan pindah pesawat dari tipe pesawat kecil, Boeing, ke tipe yang lebih mutakhir, Airbus. Setelah tahapan dua bulan sekolah ini dilalui, Sarah akan menerbangkan Airbus ke rute menuju Jepang, Korea, Australia, China, Belanda, Uni Emirat Arab, dan Jeddah.
Biografi Pilot Cantik Termuda Indonesia
Percaya atau tidak, di usia 21 tahun ternyata gadis manis ini telah menerbangkan pesawat jenis Boeing ! Dan kini pilot termuda di maskapai Garuda Indonesia ini pun sudah berencana menerbangkan pesawat Airbus yang lebih besar dan mutakhir. Saat ini Sarah Widyanti Kusuma telah mengantongi 2.200 jam terbang. Menjumpai gadis kelahiran 3 Maret 1988 yang juga jebolan Indonesian Idol dan mantan SPG ini, seperti bukan berhadapan dengan seorang pilot. Tubuhnya mungil dengan senyum yang terus tersungging, sering kali membuat orang "tertipu". Meski sudah memakai seragam pilot pun, penumpang selalu salah kira dan menduganya sebagai pramugari.
Sarah takkan pernah lupa saat-saat menegangkan yang menentukan kariernya. Saat melewati tes mental penerimaan siswa penerbang Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug. Pada awal 2007, Sarah menjadi satu-satunya siswa wanita yang lolos dalam seleksi penerimaan calon pilot di sekolah itu. Selama dua tahun dua bulan, ia belajar mengemudikan pesawat. Dan begitu lulus tahun 2009, langsung menerima pinangan sebagai pilot Garuda Indonesia. Kini, Sarah kembali sekolah untuk persiapan pindah pesawat dari tipe pesawat kecil, Boeing, ke tipe yang lebih mutakhir, Airbus.
Setelah tahapan dua bulan sekolah ini dilalui, Sarah akan menerbangkan Airbus ke rute menuju Jepang, Korea, Australia, China, Belanda, Uni Emirat Arab, dan Jeddah. "Pesawat Airbus canggih banget. Sampai sekarang saya masih wow! Untuk utak-atiknya harus belajar ekstra, sama kayak nerbangin komputer. Canggih banget," kata Sarah dengan mata berbinar.
Di sela kesibukan mempersiapkan diri menjadi pilot Airbus itulah, Sarah menyediakan waktu untuk berbincang di rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan. Saking lelahnya belajar, Sarah masih tertidur di sofa pojok ruang tamu rumahnya ketika ibu dan adik-adiknya sudah bersiap jalan-jalan di akhir pekan.
Matanya langsung berbinar ketika diajak berbicara soal profesinya. ”Yang membuat bersemangat, pesawatnya canggih dan kita yang mengoperasikan,” tambahnya.
Puteri sulung Nazaruddin dan Telis Cahyati ini sama sekali tak menyangka kalau dirinya bisa menjadi satu dari dua perempuan pilot pesawat Boeing di maskapai penerbangan Garuda dan sebelumnya bekerja sebagai pramuniaga.
Sarah serasa bermimpi, bila dia kembali melihat ke lembaran hidupnya di masa lalu. Keluarganya bukan orang berada. Meski demikian, pendidikan menjadi perhatian utama dari orang tuanya. Masih diingat dengan jelas oleh perempuan kelahiran Bandung, 3 Maret 1988 itu, bagaimana ayah-ibunya memasukkannya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta yang biayanya mahal. Mereka ingin putrinya mendapat nilai akademis yang bagus, tetapi juga pengetahuan agama yang baik.
Tamat dari sana, Sarah minta masuk ke sekolah negeri saja, karena ia tahu orang tuanya telah memaksakan diri untuk itu. Ia sadar masih ada keempat adiknya yang mesti diperhatikan juga. Rupanya keputusan Sarah untuk masuk ke sekolah negeri adalah pilihan yang tepat, karena ternyata keadaan ekonomi keluarganya semakin goyah. Perusahaan tempat ayahnya bekerja jatuh pailit. Uang tabungan keluarga terpakai, hingga akhirnya ibunya membuka warung sembako agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga.
Jadi SPG
Singkat cerita, pada 2005 Sarah lulus Sekolah Menengah Atas, Tangerang. Sadar benar akan kondisi keuangan keluarga, ia sengaja mencari perguruan tinggi yang kelak memberinya penghasilan besar, tapi juga ada beasiswa.
Ia mendaftar ke Fakultas Kedokteran, tapi ternyata gagal. Sarah tak putus asa, ia lalu mencari sekolah bersubsidi lainnya, yaitu Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) di Curug, Tangerang. Pendidikan disini bersubsidi dari pemerintah. Ia jalan sendiri ke sana, mendaftar ke jurusan Teknik Pesawat Udara, karena saat itu belum ada jurusan penerbangan. Sayang, ia lagi-lagi tidak berhasil. Sempat orang tuanya berniat menjual rumah saja untuk membiayai kuliahnya, tapi Sarah menolak. Ia tak mau banyak orang mesti berkorban demi dia.
“Saya tak mau memaksakan kehendak, meski ekonomi keluarga makin buruk. Ibu sampai harus mencari uang dengan berdagang sembako di rumah,” kata Sarah yang ketika itu dengan ikhlas menolong ibunya. Ia ke agen di pasar, menyusuri lorong-lorong yang becek dan licin setiap hari untuk berbelanja kebutuhan warung kecil ibunya. Ya, dari selisih harga itulah Ibunya mengumpulkan uang untuk biaya hidup keluarga.
“Saya terus memikirkan cara bagaimana bisa mendapatkan uang untuk kuliah tahun depan. Suatu hari Ibu menunjukkan iklan lowongan jadi bintang iklan, model dan pemain sinetron. Saya langsung setuju untuk ikut tes. Pikir saya, jadi model pasti uangnya lumayan, dan bisa saya tabung untuk kuliah,” kenang Sarah.
Ditemani ibunya, Sarah mendaftar dan ikut tes. Ternyata panggilan yang datang bukan untuk pemotretan iklan, melainkan jadi pramuniaga atau sales promotion girl yang lebih kondang dibilang orang dengan singkatan SPG. Semula ia ingin menolak tawaran itu, tapi demi mengumpulkan uang kuliah, tawaran itu pun diterimanya. Pertama kali, ia menjadi SPG dari sebuah perusahaan komputer lokal di Electronic City Lippo, Karawaci, Tanggerang. Perempuan tomboy yang terbiasa memakai setelan celana panjang itu tahu-tahu mesti berdandan luwes, memakai rok dan harus ramah menawarkan produk kepada calon pembeli.
Tapi Sarah berusaha beradaptasi, dan nyatanya ia mampu menjalani pekerjaan itu selama delapan bulan. Termasuk juga menepis godaan yang datang dari pria iseng mengajaknya kenalan hingga mengantarnya pulang. Maklum, jam kerja SPG di pusat perbelanjaan baru pulang hingga pukul 12 malam. Sarah merasa takut sekali, tapi ia menepisnya dengan doa. Pada ibunya, ia tak bercerita soal godaan-godaan lelaki ini, karena ia khawatir ibunya cemas.
“Gaji SPG 1,1 juta rupiah per bulan, lalu bonus antara Rp300.000 hingga Rp500.000 kalau berhasil melampaui target. Pendapatan yang terbilang pas-pasan, namun saya jalani dengan ikhlas,” katanya. “Uang saya tabung dan saya bisa kuliah di UPI YAI,Fakultas Fikom Jurusan Hubungan Masyarakat. Kuliah memerlukan biaya tidak sedikit.Akhirnya, saya mengejar target tidak lagi menjadi SPG yang digaji bulanan, melainkan sebagai usher yang digaji per hari bisa mencapai Rp200.000-Rp400.000.”
Pendapatan yang lumayan besar, namun sayang pekerjaan itu paling lama 2-3 hari saja sekali pameran. Ia pun berburu terus lowongan kerja sebagai usher dari berbagai produk seperti minyak wangi, busana dan sebagainya.
Memburu Pendidikan Gratis
Sarah sudah kuliah, tapi ia masih terus memburu sekolah yang bersubsidi dari pemerintah. Ia mencoba lagi ke STPI, dan ternyata pada 2006 ada jurusan penerbangan. Dari panitia ia mendapat informasi kalau jurusan ini yang terbaik. Lulusannya akan menjadi pilot. Sarah langsung mendaftar, lalu mengikuti serangkaian tes. Dari ujian kemampuan akademik, wawancara hingga kesehatan. Khusus untuk jurusan penerbangan, ia harus melalui serangkaian tes, termasuk membawa pesawat terbang.
“Membawa pesawat terbang? Saya bingung bukan kepalang. Seumur hidup saja, saya tidak pernah naik pesawat, tahu-tahu disuruh mengemudikan kapal terbang. Wah, nekat saja, tapi sekaligus terselip rasa bahagia, karena inilah proses awal saya bisa membahagiakan orang tua,” tambah Sarah, lalu tinggal di asrama selama seminggu. “Penguasaan teori dasar penerbangan 3 hari lamanya, lalu dilanjutkan dengan tes penerbangan. Pengalaman membawa pesawat sendiri itu sungguh tak terlupakan dalam hidup saya.”
Pengumuman lulus tes bakat ternyata harus menunggu berbulan-bulan lamanya. Sarah tetap kuliah dan juga bekerja sebagai usher.
Karena tes bakat bertepatan dengan ujian akhir semester di kampus UPI, ia pun terpaksa mengulang beberapa mata kuliah yang tak lulus. Pada akhir 2006 ketika ia sedang menengok neneknya di Bandung, datanglah surat pemberitahuan lulus dari STPI.
“Saya tak percaya ketika dibacakan isi surat itu ,bahwa saya dinyatakan lulus dan bisa bersekolah di STPI. Berkali-kali saya minta dibacakan isi surat itu, lalu berkali-kali pula saya cubit lengan saya untuk memastikan, bahwa saya tidak sedang bermimpi. Ternyata benar, saya lulus. Saya langsung bersimpuh, mengucap syukur pada-Nya. Rupanya selama ini Tuhan punya rencana yang indah untuk saya.
Kuliah disana selama setahun supaya saya bisa masuk ke jurusan penerbangan yang baru dibuka pada tahun itu,” kenang Sarah. Tanggal 13 Januari 2007 Sarah resmi menjadi taruni STPI, satu-satunya perempuan dari 35 taruna yang diterima.
Pendidikan yang diterapkan semi militer, disiplin tinggi dengan latihan fisik yang cukup berat dan melelahkan. Tapi semua itu tak masalah bagi Sarah, karena ia bertekad besar untuk memperbaiki hidup keluarga dan membahagiakan orang tua.
Pada bulan Maret, dua tahun kemudian Sarah lulus kuliah, lalu langsung mendaftar ke maskapai ‘Garuda’. Disana ia juga harus melalui serangkaian tes, lalu mengikuti pendidikan lagi dan kemudian barulah Sarah resmi menjadi pilot.
Sebagai Pilot Rute Domestik
Januari 2010, merupakan hari bersejarah bagi Sarah. Hari itu untuk pertama kalinya ia ditugaskan nembawa pesawat dengan rute domestik. “Tak terbayangkan, saya duduk paling depan, di kokpit sebuah pesawat terbang membawa penumpang sepesawat penuh. Saya ingin berteriak, bilang terima kasih kepada Tuhan YME”, ujar Sarah, riang. Kini, profesi istimewa sebagai pilot telah menjadi bagian dari hidupnya. Tak disangkanya, ia yang semula menjadi SPG menawarkan barang kepada orang-orang, kini menjadi seorang pilot. Profesi serius yang membuat keluarganya bangga dan bersyukur. Sarah juga tak lupa akan pesan ibunya agar terus beribadah dan bekerja sungguh-sungguh. Adik Sarah juga terinspirasi, kelak ingin menjadi pilot.
Sarah Widyanti Kusuma sebuah inspirasi, bahwa cita-cita meraih kehidupan yang lebih baik dapat terwujud dengan kerja keras, gigih, restu orang tua dan doa kepada Sang Khalik. (1003).