Memasuki Universitas Muria Kudus (UMK), riuh rendah kesibukan mahasiswa mewarnai kampus kebudayaan ini. Mulai dari yang sekedar bercanda dengan teman sebaya, berdiskusi hingga berlatih teater dan berkarya seni lainnya.
Melihat aktifitas berteater dan berkarya seni mahasiswa, bangga rasanya. Dengan kegiatannya tersebut, mereka melukiskan warnanya tersendiri di tengah-tengah kejenuhan di bangku kuliah. Tercatat, hampir setiap bulan secara bergantian kelima kelompok teater di UMK mementaskan kebolehannya berkarya seni. Cita-cita menjadi kampus kebudayaan rasanya sudah digenggaman tangan.
Namun sedikit iri, setelah beberapa waktu lalu undangan menghadiri sebuah acara penulis dapatkan dari kampus seberang, di sana ada sebuah Pusat Study Kebudayaan (PSK) dan Kesenian. Kemudian timbul pertanyaan dalam benak penulis, apakah memang tidak ada PSK di UMK?
Terlepas dari ada dan tidaknya PSK di UMK. Setelah sedikit dirasakan, geliat berkarya seni dan berkebudayaan di kampus kebudayaan ini, serasa memang berat sebelah. Kebanyakan justru muncul dari dalam jiwa mahasiswa, lalu kemana dosen-dosen kita tercinta?
Menurut hemat penulis, untuk menjadi universitas kebudayaan, selain mahasiswanya yang semangat berkarya dan nguri-uri kebudayaan bangsa, juga perlu adanya kelompok atau Study Kebudayaan dan kesenian. Atau kalau perlu juga perlu membuka jurusan seni dan budaya.
Semoga kelak ada sinkronisasi pergerakan mahasiswa dan dosen untuk selalu berkarya seni dan melestarikan kebudayaan bangsa. Hidup bangsa Indonesia, Indonesia Bisa!
Ami, Mahasiswa PBI UMK
Melihat aktifitas berteater dan berkarya seni mahasiswa, bangga rasanya. Dengan kegiatannya tersebut, mereka melukiskan warnanya tersendiri di tengah-tengah kejenuhan di bangku kuliah. Tercatat, hampir setiap bulan secara bergantian kelima kelompok teater di UMK mementaskan kebolehannya berkarya seni. Cita-cita menjadi kampus kebudayaan rasanya sudah digenggaman tangan.
Namun sedikit iri, setelah beberapa waktu lalu undangan menghadiri sebuah acara penulis dapatkan dari kampus seberang, di sana ada sebuah Pusat Study Kebudayaan (PSK) dan Kesenian. Kemudian timbul pertanyaan dalam benak penulis, apakah memang tidak ada PSK di UMK?
Terlepas dari ada dan tidaknya PSK di UMK. Setelah sedikit dirasakan, geliat berkarya seni dan berkebudayaan di kampus kebudayaan ini, serasa memang berat sebelah. Kebanyakan justru muncul dari dalam jiwa mahasiswa, lalu kemana dosen-dosen kita tercinta?
Menurut hemat penulis, untuk menjadi universitas kebudayaan, selain mahasiswanya yang semangat berkarya dan nguri-uri kebudayaan bangsa, juga perlu adanya kelompok atau Study Kebudayaan dan kesenian. Atau kalau perlu juga perlu membuka jurusan seni dan budaya.
Semoga kelak ada sinkronisasi pergerakan mahasiswa dan dosen untuk selalu berkarya seni dan melestarikan kebudayaan bangsa. Hidup bangsa Indonesia, Indonesia Bisa!
Ami, Mahasiswa PBI UMK