Pekan ini dunia kembali dibuat pilu dengan terjadinya lagi pertempuran Israel-Palestina di kota Gaza. Memang ini bukanlah kali pertama kita menyaksikan kedua pihak berseteru, mengingat rentetan konflik berkepanjangan di antara keduanya telah berlangsung lama dan terus berlanjut hingga kini. Konflik ini mewarnai torehan sejarah panjang umat manusia yang memang tidak mungkin lepas dari sejarah konflik dan peperangan. Berbagai pihak menyebut bahwa konflik ini adalah wujud kontestasi Islam dengan Yahudi. Sebagian lagi menyebut bahwa konflik ini intinya perebutan teritorial, tidak ada hubungannya sentimen keagamaan. Namun, apakah semuanya menjadi pembenar akan berkobarnya perang? Apakah sudah tertutup jalan perdamaian sebagai jalan mulia kemanusiaan?
Sebagai bagian dari sejarah peradaban manusia, dalam perjalanan perkembangannya, Islam tidak luput dari dinamika konflik dan perang. Rasulullah SAW pun selain berpredikat pemimpin spiritual dan politik umat Islam pada masanya, tidak bisa terelakkan beliau juga merupakan panglima perang melawan pasukan musuh dalam memperjuangkan penegakan tauhid. Namun, di balik peperangan, sejarah juga mencatat berbagai kisah perjanjian damai yang diinisiasi oleh Rasulullah, para sahabat dan penerus mereka. Bukti historis tersebut dapat kita lihat dalam tiga peace agreement bersejarah berikut ini; Piagam Madinah, Perjanjian Hudaibiyah, dan Piagam Aelia atau Piagam Al-Quds.
Piagam Madinah
Piagam Madinah (Al-Sahifah Al-Madinah atau Mithaq Al-Madinah) merupakan karya monumental kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah, yang proses kelahirannya cukup panjang dan berliku. Lahirnya piagam yang populer di kalangan pakar sejarah dan politik sebagai konstitusi Negara Madinah tersebut tidak lepas dari momentum hijrah Nabi dan kaum Muhajirin dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M. Proses hijrah sendiri sudah terwacanakan dua tahun sebelumnya ketika beberapa perwakilan penduduk Madinah (saat itu bernama Yatsrib) dari suku Khazraj menemui dan dibaiat Nabi setelah menunaikan haji. Pasca-pertemuan itu, secara terhormat Nabi telah dinobatkan menjadi pemimpin (chief) Madinah dan diharapkan kepemimpinannya membawa kemajuan bagi Madinah. Hubungan harmonis tersebut terus terbina dengan menyusulnya para sahabat ke Madinah atas rekomendasi Nabi.
Setelah berhijrah, Nabi mulai membangun peradaban Madinah dengan serangkaian langkah dan kebijakan penting. Beliau SAW membangun masjid di tengah kota sebagai pusat peradaban, di samping itu beliau mempersaudarakan umat Muslim Anshar dan Muhajirin, serta satu kebijakan penting yang beliau selenggarakan yakni memaklumatkan Piagam Madinah. Dokumen berkekuatan konstitusional yang diprakarsai oleh Nabi ini adalah bentuk perjanjian formal antara diri beliau sendiri sebagai representasi umat Muslim dengan seluruh penduduk Madinah. Dokumen tersebut disusun secara rinci dan jelas. Tujuannya untuk menghentikan perseteruan antar-bani (suku), terutama suku Aus dan Khazraj, serta membangun persatuan seluruh warga Madinah yang sangat plural. Secara sosiologis penduduk Madinah terbagi ke dalam 4 kelompok. Yang pertama adalah umat Muslim Muhajirin yang berhijrah dari Makkah. Kelompok kedua adalah Anshar yakni penduduk Muslim pribumi Madinah. Kelompok ketiga adalah pemeluk Yahudi yang secara garis besar terdiri atas beberapa suku; Qainuqa`, Nadhir, dan Quraizhah. Yang terakhir ialah komunitas pemeluk tradisi nenek moyang atau penganut paganisme (penyembah berhala).
Piagam Madinah berisi 47 pasal yang terdiri atas mukadimah, pembahasan tentang pembentukan umat, persatuan agama, persatuan suku dan warga, perlindungan kelompok minoritas, tugas setiap warga, perlindungan wilayah, serta di akhiri dengan penutup. Mengingat substansi Piagam Madinah yang sarat akan kepentingan sosial dan politik bagi stabilitas warga Madinah, maka tidak mengherankan jika dokumen ini menjadi pondasi bagi keberlangsungan Negara Madinah. Terdapat empat pokok pikiran dalam Piagam Madinah yang memenuhi syarat menjadi pondasi atau konstitusi negara. Pertama, Piagam Madinah mempersatukan umat Islam dalam satu ikatan persaudaraan sesama Muslim. Kedua, dokumen tersebut menghidupkan semangat kerjasama dan hidup rukun dalam kemajemukan (peaceful co-existence), dan saling menjamin hak sesama warga Madinah. Ketiga, kesepakatan bersama itu mewajibkan setiap penduduk Madinah untuk mempertahankan dan melindungi Madinah dari serangan pihak luar. Keempat, Piagam Madinah menjamin hak persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk agama lain dalam mengurus kepentingan mereka.
Salah satu yang menonjol dari inklusivitas pemikiran Rasulullah dalam Piagam Madinah adalah dengan mengikat seluruh penduduk, utamanya kaum Muslim dan Yahudi sebagai satu ummah yang saling menghargai kebebasan beragama. Hal itu sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 25 Piagam Madinah yang berbunyi “Kaum Yahudi Bani Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu ummah. Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing. Demikin pula halnya dengan sekutu dan diri mereka sendiri. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hal ini maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya”.
Piagam Madinah telah mengubah eksistensi penduduk Madinah dari sekedar sekumpulan manusia dari latar suku dan agama berbeda menjadi kesatuan masyarakat politik, yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik wilayah Madinah. Dampak yang lebih luas dirasakan ketika Madinah menjadi tempat melangsungkan kehidupan, membangun kerjasama dalam maslahat serta dilandasi kesadaran sosial-independen, bebas dari pengaruh atau kekuasaan masyarakat luar.
Perjanjian Hudaibiyah
Selain Piagam Madinah, perjanjian damai yang juga menjadi catatan penting sejarah adalah Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini terjadi antara Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin Madinah dengan penguasa Makkah yakni pembesar suku Quraisy sebagai suku mayoritas di Makkah, yang disebabkan karena terhalanginya umat Muslim di Madinah yang hendak berhaji ke Makkah oleh kaum Quraisy. Saat itu pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 H, serombongan Muslim Madinah hendak berhaji, namun mereka berhenti di Hudaibiyah karena mendengar ada larangan dan pencegatan oleh kaum Quraisy. Kaum Quraisy mengerahkan mata-mata untuk memastikan bahwa warga Madinah hanya untuk berhaji, bukan untuk berperang melawan mereka. Namun di hari yang lain, sebanyak 50 mata-mata yang dikirim justru melempari kemah warga Muslim Madinah di Hudaibiyah. Ketegangan pun terjadi. Untuk meredakan konflik, Usman bin Affan diutus Rasulullah untuk berdiplomasi dengan pimpinan Quraisy. Para sahabat sempat khawatir karena lama ditunggu Usman belum kembali ke Hudaibiyah. Mereka beranggapan bahwa Usman telah dibunuh Quraisy tetapi kehawatiran itu lenyap ketika Usman kembali dengan selamat di Hudaibiyah.
Dalam perundingan, meskipun Quraisy mengakui kedatangan Muslimin ke Makkah hanya untuk berhaji tetapi mereka tetap berupaya mempersempit ruang gerak umat Muslim, bahkan ingin menggagalkan ibadah haji kaum Muslim Madinah. Setelah beberapa kali negosiasi, akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian. Rasulullah sendiri hadir dalam persitiwa tersebut meskipun menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai delegasi mewakili umat Muslim. Sementara itu suku Quraisy mengutus Suhail bin Amr sebagai juru rundingnya. Setelah proses diskusi dan negosiasi yang panjang dan menegangkan, kedua pihak menyepakati perjanjian damai yang terkenal disebut Perjanjian Hudaibiyah. Nama Hudaibiyah diambil sesuai dengan lokasi terjadinya perjanjian. Adapun isi dari Perjanjian Perdamian Hudaibiyah adalah sebagai berikut:
Kedua belah pihak setuju untuk mengadakan gencatan senjata
Barangsiapa dari kaum Quraisy yang tidak seizin walinya menyeberang ke pihak Rasulullah, maka ia harus dikembalikan kepada mereka
Barangsiapa dari pengikut Rasulullah menyeberang ke pihak Quraisy, ia tidak akan dikembalikan kepada Rasulullah
Barangsiapa dari masyarakat Arab di luar perjanjian mengadakan persekutuan dengan Rasulullah, maka hal itu diperolehkan; dan barangsiapa dari masyarakat Arab di luar perjanjian mengadakan persekutuan dengan pihak Quraisy, hal itu juga diperbolehkan
Nabi dan kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dengan ketentuan akan kembali ke Makkah pada tahun berikutnya dengan syarat mereka tinggal selama tiga hari di Makkah dan senjata yang dapat mereka bawa adalah pedang yang tersarung.
Pasca-penandatanganan perjanjian, Nabi SAW mencium aroma kekecewaan dari sebagian sahabat atas strategi perjuangan melalui perjanjian yang seolah menggambarkan seperti kalah sebelum berperang. Nabi sendiri menyadari bahwa konsekuensi dari strategi perundingan damai tersebut bisa memicu kekecewaan dan perpecahan di kalangan umat Muslim sendiri. Di tengah situasi tersebut, turunlah firman Allah: “Sesungguhnya telah Kami bukakan kemenangan yang nyata kepadamu, supaya Allah akan memberi ampunan kepadamu terhadap dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang, dan akan menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberi petunjuk kepadamu jalan yang lurus, dan Allah akan menolong kamu dengan pertolongan yang kuat” (QS. Al-Fath: 1-3).
Seketika Nabi menyampikan ayat tersebut kepada Umar bin Khattab dan para sahabat yang sedari awal belum seratus persen menerima perjanjian tersebut. Oleh karenanya ketika mendengar ayat tersebut, Umar bin Khattab langsung bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, apakah perjanjian tersebut merupakan suatu kemenangan?” Dengan tegas Nabi menjawab “Ya”. Barulah kemudian Umar bin Khattab dan para sahabat dengan legowo menerima Perjanjian Hudaibiyah sebagai strategi jitu menjinakkan hegemoni Quraisy atas Makkah. Maka imbasnya, setelah perjanjian berlaku, kaum Muslimin mendapat kebebasan beribadah haji maupun umrah di Makkah yang bermakna pula pengakuan hak beragama Islam di jazirah Arab, tanpa terjadinya peperangan. Tidak hanya itu, perjanjian ini telah membuka akses kaum Muslim untuk mengembangkan sayap dakwah tanpa tekanan Quraisy. Selain itu, secara politis perjanjian tersebut menunjukkan pengakuan kaum Quraisy bahwa Nabi Muhammad ialah pimpinan umat Muslim di Madinah.
Piagam Aelia
Piagam Aelia mungkin saja kalah populer dengan Piagam Madinah atau Perjanjian Hudaibiyah. Namun, seperti keduanya, piagam ini juga mempunyai peran penting dalam menciptakan stabilitas sosial politik serta perkembangan Islam di Aelia pada masa itu. Nama Aelia berganti menjadi Al-Quds pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Kini kota ini lebih dikenal dengan nama Jerussalem atau Al-Quds.
Persentuhan Islam dengan kota Aelia setelah Isra Mi’raj Nabi dari Makkah ke Palestina adalah ketika Khalifah Umar bin Khattab memasuki kota tersebut pada tahun ke-15 H setelah sebelumnya pasukan Islam menaklukkan Romawi. Penguasa Aelia saat itu, Patriarch Sophronius, secara khusus meminta kepada Umar bin Khattab untuk proses serah terima kota. Ketika menerima kekuasaan Aelia atau Al-Quds, Umar bin Khattab seketika membuat perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Aelia atau disebut juga Konvensi Umar pada 20 Rabi’ul Awal 15 H.
Isi perjanjian tersebut adalah pernyataan politis penguasa kepada wilayah kekuasaannya dalam memberikan jaminan terhadap penduduknya terkait tiga hal. Pertama, jaminan akan keamanan harta dan jiwa semua penduduk Aelia. Kedua, pernyataan atas jaminan kebebasan beragama. Ketiga, kewajiban membayar pajak. Sekilas konvensi ini mengingatkan kita pada intisari Piagam Madinah yang memberikan jaminan kesetaraan hak dan kewajiban bagi seluruh penduduknya. Semangat memelihara perdamaian begitu kental ketika membaca penggalan paragraph pertama dari konvensi ini yang berbunyi “Inilah jaminan keamanan yang diberikan Abdullah, Umar, Amirul Mu`minin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan atas jiwa dan harta mereka, atas gereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan jaminan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu pun dari gereja-gereja itu, dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta mereka di dalam gereja. Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu.”
Piagam Madinah (Mithaq Al-Madinah), Perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Aelia adalah beberapa contoh Islamic peace agreement yang menjadi bukti rekam jejak historis bahwa dakwah Islam yang tersebar ke seluruh dunia tidak identik dengan peperangan. Hal ini menjadi bukti kuat logika normatif Islam sebagai agama yang turun ke bumi sebagai rahmat untuk semua alam (Rahmatan lil alamin). Demikianlah semboyan yang sekaligus menjadi misi Islam sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: “Dan tiadalah Kami mengutusmu (wahai Muhammad), melainkan sebagai rahmatan lil-alamin, pengasih bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya`: 107).
* Penulis ialah mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber : http://go.girilaya.com/d8yfe5
Sebagai bagian dari sejarah peradaban manusia, dalam perjalanan perkembangannya, Islam tidak luput dari dinamika konflik dan perang. Rasulullah SAW pun selain berpredikat pemimpin spiritual dan politik umat Islam pada masanya, tidak bisa terelakkan beliau juga merupakan panglima perang melawan pasukan musuh dalam memperjuangkan penegakan tauhid. Namun, di balik peperangan, sejarah juga mencatat berbagai kisah perjanjian damai yang diinisiasi oleh Rasulullah, para sahabat dan penerus mereka. Bukti historis tersebut dapat kita lihat dalam tiga peace agreement bersejarah berikut ini; Piagam Madinah, Perjanjian Hudaibiyah, dan Piagam Aelia atau Piagam Al-Quds.
Piagam Madinah
Piagam Madinah (Al-Sahifah Al-Madinah atau Mithaq Al-Madinah) merupakan karya monumental kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah, yang proses kelahirannya cukup panjang dan berliku. Lahirnya piagam yang populer di kalangan pakar sejarah dan politik sebagai konstitusi Negara Madinah tersebut tidak lepas dari momentum hijrah Nabi dan kaum Muhajirin dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M. Proses hijrah sendiri sudah terwacanakan dua tahun sebelumnya ketika beberapa perwakilan penduduk Madinah (saat itu bernama Yatsrib) dari suku Khazraj menemui dan dibaiat Nabi setelah menunaikan haji. Pasca-pertemuan itu, secara terhormat Nabi telah dinobatkan menjadi pemimpin (chief) Madinah dan diharapkan kepemimpinannya membawa kemajuan bagi Madinah. Hubungan harmonis tersebut terus terbina dengan menyusulnya para sahabat ke Madinah atas rekomendasi Nabi.
Setelah berhijrah, Nabi mulai membangun peradaban Madinah dengan serangkaian langkah dan kebijakan penting. Beliau SAW membangun masjid di tengah kota sebagai pusat peradaban, di samping itu beliau mempersaudarakan umat Muslim Anshar dan Muhajirin, serta satu kebijakan penting yang beliau selenggarakan yakni memaklumatkan Piagam Madinah. Dokumen berkekuatan konstitusional yang diprakarsai oleh Nabi ini adalah bentuk perjanjian formal antara diri beliau sendiri sebagai representasi umat Muslim dengan seluruh penduduk Madinah. Dokumen tersebut disusun secara rinci dan jelas. Tujuannya untuk menghentikan perseteruan antar-bani (suku), terutama suku Aus dan Khazraj, serta membangun persatuan seluruh warga Madinah yang sangat plural. Secara sosiologis penduduk Madinah terbagi ke dalam 4 kelompok. Yang pertama adalah umat Muslim Muhajirin yang berhijrah dari Makkah. Kelompok kedua adalah Anshar yakni penduduk Muslim pribumi Madinah. Kelompok ketiga adalah pemeluk Yahudi yang secara garis besar terdiri atas beberapa suku; Qainuqa`, Nadhir, dan Quraizhah. Yang terakhir ialah komunitas pemeluk tradisi nenek moyang atau penganut paganisme (penyembah berhala).
Piagam Madinah berisi 47 pasal yang terdiri atas mukadimah, pembahasan tentang pembentukan umat, persatuan agama, persatuan suku dan warga, perlindungan kelompok minoritas, tugas setiap warga, perlindungan wilayah, serta di akhiri dengan penutup. Mengingat substansi Piagam Madinah yang sarat akan kepentingan sosial dan politik bagi stabilitas warga Madinah, maka tidak mengherankan jika dokumen ini menjadi pondasi bagi keberlangsungan Negara Madinah. Terdapat empat pokok pikiran dalam Piagam Madinah yang memenuhi syarat menjadi pondasi atau konstitusi negara. Pertama, Piagam Madinah mempersatukan umat Islam dalam satu ikatan persaudaraan sesama Muslim. Kedua, dokumen tersebut menghidupkan semangat kerjasama dan hidup rukun dalam kemajemukan (peaceful co-existence), dan saling menjamin hak sesama warga Madinah. Ketiga, kesepakatan bersama itu mewajibkan setiap penduduk Madinah untuk mempertahankan dan melindungi Madinah dari serangan pihak luar. Keempat, Piagam Madinah menjamin hak persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk agama lain dalam mengurus kepentingan mereka.
Salah satu yang menonjol dari inklusivitas pemikiran Rasulullah dalam Piagam Madinah adalah dengan mengikat seluruh penduduk, utamanya kaum Muslim dan Yahudi sebagai satu ummah yang saling menghargai kebebasan beragama. Hal itu sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 25 Piagam Madinah yang berbunyi “Kaum Yahudi Bani Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu ummah. Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing. Demikin pula halnya dengan sekutu dan diri mereka sendiri. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hal ini maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya”.
Piagam Madinah telah mengubah eksistensi penduduk Madinah dari sekedar sekumpulan manusia dari latar suku dan agama berbeda menjadi kesatuan masyarakat politik, yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik wilayah Madinah. Dampak yang lebih luas dirasakan ketika Madinah menjadi tempat melangsungkan kehidupan, membangun kerjasama dalam maslahat serta dilandasi kesadaran sosial-independen, bebas dari pengaruh atau kekuasaan masyarakat luar.
Perjanjian Hudaibiyah
Selain Piagam Madinah, perjanjian damai yang juga menjadi catatan penting sejarah adalah Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini terjadi antara Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin Madinah dengan penguasa Makkah yakni pembesar suku Quraisy sebagai suku mayoritas di Makkah, yang disebabkan karena terhalanginya umat Muslim di Madinah yang hendak berhaji ke Makkah oleh kaum Quraisy. Saat itu pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 H, serombongan Muslim Madinah hendak berhaji, namun mereka berhenti di Hudaibiyah karena mendengar ada larangan dan pencegatan oleh kaum Quraisy. Kaum Quraisy mengerahkan mata-mata untuk memastikan bahwa warga Madinah hanya untuk berhaji, bukan untuk berperang melawan mereka. Namun di hari yang lain, sebanyak 50 mata-mata yang dikirim justru melempari kemah warga Muslim Madinah di Hudaibiyah. Ketegangan pun terjadi. Untuk meredakan konflik, Usman bin Affan diutus Rasulullah untuk berdiplomasi dengan pimpinan Quraisy. Para sahabat sempat khawatir karena lama ditunggu Usman belum kembali ke Hudaibiyah. Mereka beranggapan bahwa Usman telah dibunuh Quraisy tetapi kehawatiran itu lenyap ketika Usman kembali dengan selamat di Hudaibiyah.
Dalam perundingan, meskipun Quraisy mengakui kedatangan Muslimin ke Makkah hanya untuk berhaji tetapi mereka tetap berupaya mempersempit ruang gerak umat Muslim, bahkan ingin menggagalkan ibadah haji kaum Muslim Madinah. Setelah beberapa kali negosiasi, akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian. Rasulullah sendiri hadir dalam persitiwa tersebut meskipun menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai delegasi mewakili umat Muslim. Sementara itu suku Quraisy mengutus Suhail bin Amr sebagai juru rundingnya. Setelah proses diskusi dan negosiasi yang panjang dan menegangkan, kedua pihak menyepakati perjanjian damai yang terkenal disebut Perjanjian Hudaibiyah. Nama Hudaibiyah diambil sesuai dengan lokasi terjadinya perjanjian. Adapun isi dari Perjanjian Perdamian Hudaibiyah adalah sebagai berikut:
Kedua belah pihak setuju untuk mengadakan gencatan senjata
Barangsiapa dari kaum Quraisy yang tidak seizin walinya menyeberang ke pihak Rasulullah, maka ia harus dikembalikan kepada mereka
Barangsiapa dari pengikut Rasulullah menyeberang ke pihak Quraisy, ia tidak akan dikembalikan kepada Rasulullah
Barangsiapa dari masyarakat Arab di luar perjanjian mengadakan persekutuan dengan Rasulullah, maka hal itu diperolehkan; dan barangsiapa dari masyarakat Arab di luar perjanjian mengadakan persekutuan dengan pihak Quraisy, hal itu juga diperbolehkan
Nabi dan kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dengan ketentuan akan kembali ke Makkah pada tahun berikutnya dengan syarat mereka tinggal selama tiga hari di Makkah dan senjata yang dapat mereka bawa adalah pedang yang tersarung.
Pasca-penandatanganan perjanjian, Nabi SAW mencium aroma kekecewaan dari sebagian sahabat atas strategi perjuangan melalui perjanjian yang seolah menggambarkan seperti kalah sebelum berperang. Nabi sendiri menyadari bahwa konsekuensi dari strategi perundingan damai tersebut bisa memicu kekecewaan dan perpecahan di kalangan umat Muslim sendiri. Di tengah situasi tersebut, turunlah firman Allah: “Sesungguhnya telah Kami bukakan kemenangan yang nyata kepadamu, supaya Allah akan memberi ampunan kepadamu terhadap dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang, dan akan menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberi petunjuk kepadamu jalan yang lurus, dan Allah akan menolong kamu dengan pertolongan yang kuat” (QS. Al-Fath: 1-3).
Seketika Nabi menyampikan ayat tersebut kepada Umar bin Khattab dan para sahabat yang sedari awal belum seratus persen menerima perjanjian tersebut. Oleh karenanya ketika mendengar ayat tersebut, Umar bin Khattab langsung bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, apakah perjanjian tersebut merupakan suatu kemenangan?” Dengan tegas Nabi menjawab “Ya”. Barulah kemudian Umar bin Khattab dan para sahabat dengan legowo menerima Perjanjian Hudaibiyah sebagai strategi jitu menjinakkan hegemoni Quraisy atas Makkah. Maka imbasnya, setelah perjanjian berlaku, kaum Muslimin mendapat kebebasan beribadah haji maupun umrah di Makkah yang bermakna pula pengakuan hak beragama Islam di jazirah Arab, tanpa terjadinya peperangan. Tidak hanya itu, perjanjian ini telah membuka akses kaum Muslim untuk mengembangkan sayap dakwah tanpa tekanan Quraisy. Selain itu, secara politis perjanjian tersebut menunjukkan pengakuan kaum Quraisy bahwa Nabi Muhammad ialah pimpinan umat Muslim di Madinah.
Piagam Aelia
Piagam Aelia mungkin saja kalah populer dengan Piagam Madinah atau Perjanjian Hudaibiyah. Namun, seperti keduanya, piagam ini juga mempunyai peran penting dalam menciptakan stabilitas sosial politik serta perkembangan Islam di Aelia pada masa itu. Nama Aelia berganti menjadi Al-Quds pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Kini kota ini lebih dikenal dengan nama Jerussalem atau Al-Quds.
Persentuhan Islam dengan kota Aelia setelah Isra Mi’raj Nabi dari Makkah ke Palestina adalah ketika Khalifah Umar bin Khattab memasuki kota tersebut pada tahun ke-15 H setelah sebelumnya pasukan Islam menaklukkan Romawi. Penguasa Aelia saat itu, Patriarch Sophronius, secara khusus meminta kepada Umar bin Khattab untuk proses serah terima kota. Ketika menerima kekuasaan Aelia atau Al-Quds, Umar bin Khattab seketika membuat perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Aelia atau disebut juga Konvensi Umar pada 20 Rabi’ul Awal 15 H.
Isi perjanjian tersebut adalah pernyataan politis penguasa kepada wilayah kekuasaannya dalam memberikan jaminan terhadap penduduknya terkait tiga hal. Pertama, jaminan akan keamanan harta dan jiwa semua penduduk Aelia. Kedua, pernyataan atas jaminan kebebasan beragama. Ketiga, kewajiban membayar pajak. Sekilas konvensi ini mengingatkan kita pada intisari Piagam Madinah yang memberikan jaminan kesetaraan hak dan kewajiban bagi seluruh penduduknya. Semangat memelihara perdamaian begitu kental ketika membaca penggalan paragraph pertama dari konvensi ini yang berbunyi “Inilah jaminan keamanan yang diberikan Abdullah, Umar, Amirul Mu`minin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan atas jiwa dan harta mereka, atas gereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan jaminan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu pun dari gereja-gereja itu, dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta mereka di dalam gereja. Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu.”
Piagam Madinah (Mithaq Al-Madinah), Perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Aelia adalah beberapa contoh Islamic peace agreement yang menjadi bukti rekam jejak historis bahwa dakwah Islam yang tersebar ke seluruh dunia tidak identik dengan peperangan. Hal ini menjadi bukti kuat logika normatif Islam sebagai agama yang turun ke bumi sebagai rahmat untuk semua alam (Rahmatan lil alamin). Demikianlah semboyan yang sekaligus menjadi misi Islam sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: “Dan tiadalah Kami mengutusmu (wahai Muhammad), melainkan sebagai rahmatan lil-alamin, pengasih bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya`: 107).
* Penulis ialah mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber : http://go.girilaya.com/d8yfe5