Tifus atau demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan kuman yang sifatnya sistemik (seluruh tubuh). Gejala awal yang spesifik antara lain demam, anoreksia (nafsu makan turun), letargi (lemah), malaise (lesu), sakit kepala yang terasa berat, dan terkadang terdapat batuk yang nonproduktif.
Mual dan muntah jarang ditemukan, tapi konstipasi sering dikeluhkan pasien.
"Pada minggu kedua terjadi panas tinggi dan penurunan status kesadaran. Gejala lainnya yaitu gejala intestinal ( saluran pencernaan) seperti perdarahan usus, ketulian ringan, dan radang kelenjar air liur. Infeksi ringan dapat terjadi begitu pula relaps atau reinfeksi. Semua ini disebabkan kuman salmonella typhii. Yang patut diwaspadai, tipe salmonela lain bisa juga jadi penyebab tapi demam tifoid memiliki gejala klinis yang berbeda," terang dr. Ardian Ganda kepada Bintang pekan lalu.
Tifus dapat diobati dengan antibiotik seperti ampisilin, amoksisilin, sefotaksim, seftriakson, kloramfenikol, dan fuorokuinolon. Pemilihan obat, cara pemberian, dan lama penyembuhan tergantung pada kerentanan, tempat infeksi, dan responn tubuh anggota keluarga yang sakit. Pada umumnya pasien sembuh dalam 2-3 hari dengan terapi antibiotik yang tepat.
Sepintas, tifus terdengar mudah ditangani. Bukan berarti penyakit ini minus risiko kematian. Sebanyak 10-20 persen infeksi yang tak diobati bisa mengakibatkan kematian. Sementara kasus pasien meninggal padahal telah menjalani terapi antibiotik mencapai kurang dari satu persen.
Menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2011, kasus tifus fatal di Indonesia mencapai angka 0,67 persen. Dari data yang dikumpulkan Ganda, pada 2004 infeksi demam tifoid di seluruh dunia menyerang sekitar 21,7 juta jiwa dan 217.000 di antaranya meninggal. Insiden tertinggi di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika Selatan sebanyak lebih dari 100 kasus per 100.000 populasi per tahun.
Asia Tenggara termasuk di Indonesia, tentunya. Masih dari Riskesdas 2011, demam tifoid dan paratifoid termasuk dalam daftar 10 besar penyakit rawat inap. "Menempati urutan ke-3, setelah diare (gastroenteritis) dan demam berdarah dengue," Ganda memberi tahu.
Pemeriksaan Penunjang
Ada empat pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan untuk demam tifoid:
1. Pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui jumlah darah putih serta mendeteksi peningkatan limfosit. Ini menjadi salah satu faktor penting sebelum menentukan diagnosis.
2. Pemeriksaan biakan (kultur) kuman. Spesimen/sampel diambil dari darah atau sumsum tulang (pada awal penyakit), urine, dan feses.
3. Pemeriksaan imunoserologi, ada dua macam. Yakni widal ditujukan untuk mendeteksi antibodi dalam darah seperti Ig M (Imunoglobulin M) dan Ig G (Imunoglobulin G). Ini tes imunologi yang lebih baru, dianggap lebih sensitif dan spesifik dari uji widal dalam menyimpulkan perkembangan demam tifoid.
4. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR) bertujuan mengidentifikasi adanya DNA kuman pada spesimen yang diambil dari darah, urine, cairan tubuh yang lain serta jaringan biopsi.
Mual dan muntah jarang ditemukan, tapi konstipasi sering dikeluhkan pasien.
"Pada minggu kedua terjadi panas tinggi dan penurunan status kesadaran. Gejala lainnya yaitu gejala intestinal ( saluran pencernaan) seperti perdarahan usus, ketulian ringan, dan radang kelenjar air liur. Infeksi ringan dapat terjadi begitu pula relaps atau reinfeksi. Semua ini disebabkan kuman salmonella typhii. Yang patut diwaspadai, tipe salmonela lain bisa juga jadi penyebab tapi demam tifoid memiliki gejala klinis yang berbeda," terang dr. Ardian Ganda kepada Bintang pekan lalu.
Tifus dapat diobati dengan antibiotik seperti ampisilin, amoksisilin, sefotaksim, seftriakson, kloramfenikol, dan fuorokuinolon. Pemilihan obat, cara pemberian, dan lama penyembuhan tergantung pada kerentanan, tempat infeksi, dan responn tubuh anggota keluarga yang sakit. Pada umumnya pasien sembuh dalam 2-3 hari dengan terapi antibiotik yang tepat.
Sepintas, tifus terdengar mudah ditangani. Bukan berarti penyakit ini minus risiko kematian. Sebanyak 10-20 persen infeksi yang tak diobati bisa mengakibatkan kematian. Sementara kasus pasien meninggal padahal telah menjalani terapi antibiotik mencapai kurang dari satu persen.
Menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2011, kasus tifus fatal di Indonesia mencapai angka 0,67 persen. Dari data yang dikumpulkan Ganda, pada 2004 infeksi demam tifoid di seluruh dunia menyerang sekitar 21,7 juta jiwa dan 217.000 di antaranya meninggal. Insiden tertinggi di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika Selatan sebanyak lebih dari 100 kasus per 100.000 populasi per tahun.
Asia Tenggara termasuk di Indonesia, tentunya. Masih dari Riskesdas 2011, demam tifoid dan paratifoid termasuk dalam daftar 10 besar penyakit rawat inap. "Menempati urutan ke-3, setelah diare (gastroenteritis) dan demam berdarah dengue," Ganda memberi tahu.
Pemeriksaan Penunjang
Ada empat pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan untuk demam tifoid:
1. Pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui jumlah darah putih serta mendeteksi peningkatan limfosit. Ini menjadi salah satu faktor penting sebelum menentukan diagnosis.
2. Pemeriksaan biakan (kultur) kuman. Spesimen/sampel diambil dari darah atau sumsum tulang (pada awal penyakit), urine, dan feses.
3. Pemeriksaan imunoserologi, ada dua macam. Yakni widal ditujukan untuk mendeteksi antibodi dalam darah seperti Ig M (Imunoglobulin M) dan Ig G (Imunoglobulin G). Ini tes imunologi yang lebih baru, dianggap lebih sensitif dan spesifik dari uji widal dalam menyimpulkan perkembangan demam tifoid.
4. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR) bertujuan mengidentifikasi adanya DNA kuman pada spesimen yang diambil dari darah, urine, cairan tubuh yang lain serta jaringan biopsi.