Berbicara tentang keberadaan Kota Medan sekarang ini, maka tidak bisa dilepaskan dari aspek historisnya yang merujuk pada kawasan situs Kota Cina yakni Bandar pelabuhan yang ramai dikunjungi pada permulaan abad ke-12 hingga awal abad ke-14. Pada masa itu, berdasarkan bukti-bukti arkeologisnya (archeological evidence) diketahui cenderung merujuk pada era kedinastian Sung, Yuan dan Ming di China, demikian pula temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa komunitas pedagang yang berasal dari mancanegara seperti China, Johor, Jawa, Burma, Thailand pernah singgah di Bandar pelabuhan yang terletak di pesisir Timur pantai Sumatra Utara.
Keberadaan Situs Kota Cina diketahui pada akhir abad 19 pada waktu kunjungan Anderson dan kemudian pada tahun 1875 Halewijn (1876) mencatatnya dengan nama Kota Cina, pada saat itu terdapat puluhan rumah tangga yang dikontrol oleh Sultan Deli di Labuhan. Kampung Terjun dan Hamparan Perak terletak hanya beberapa kilometer disebelah Barat dan disebelahnya terdapat Suku Duabelas Kota yang dikontrol oleh Kejuruan Hamparan Perak yakni seorang Melayu Karo (Veth, 1877).
Catatan awal keberadaan kawasan ini ditemukan dari riwayat perjalanan John Anderson, seorang Scotisch yang diutus dari Penang pada tahun 1823 dalam bukunya: ”Mission to the East Coast of Sumatra and Malay Penisula” yang menyebutkan bahwa di daerah tersebut terdapat batu bertulis yang masyarakat tidak dapat membaca. Anderson juga mengingatkan akan pentingnya Sei Deli sebagai jalur pelayaran sungai (riverine) dan pintu masuk (entrance) menghubungkan dataran tinggi (hinterland) dan lembah Deli.
Catatan Anderson tersebut dipublikasikan pada Tijdschrift van het Bataviasche Genootshap yang pada tahun 1882, yakni 20 tahun setelah pengusaha Belanda menginjakkan kakinya di Deli, controleur Labuhan Deli berkeinginan menyelidiki inskripsi sebagaimana yang dimaksud Anderson tersebut tetapi tidak menemukan batu bertulis itu. Namun demikian, sehubungan dengan ekspansi perkebunan Deli di kawasan ini, maka sejalan dengan banyaknya artifak seperti mata uang, archa tembikar, dan keramik dari Cina itu, maka pada tahun 1886 oleh Halewijn dicatat sebagai Kota Cina kemudian pada tahun 1914 dicatat lagi dengan resmi pada Oudheidkundig Verslaag (laporan Dinas Kepurbakalaan Belanda).
Namun demikian, bila memeriksa kembali catatan-catatan yang lebih awal, maka akan diperoleh penggambaran terhadap kawasan ini sebagai bandar perniagaan kuno. Alasannya adalah posisisnya yang berhadapan langsung dengan selat Malaka (Malaca strait) yang memegang peranan penting sebagai ”jalur maritim sutra” yang menghubungkan Guang Chou (Asia), Arab (Timur Tengah) dan Mesir (Afrika). Dengan demikian, tidak mengherankan apabila disepanjang selat Malaka terdapat bandar-bandar niaga ramai dikunjungi seperti Kota Cina, Kota Rentang, Pulau Kampai, Tamiang, Samudra [Pase], Jambi, Batu Sangkar dan lain-lain.
Situs Kota Cina diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya Kota Medan sekarang yang berasal dari permulaan abad ke-12. Hal mana ditunjukkan oleh banyaknya peninggalan atau bukti arkeologis (archeological evidence) yang tertuju pada satu era yakni sejak abad ke-12 hingga awal abad ke-14, seperti eartenware fragmen (tembikar), porcelain fragmen (keramik), coin (mata uang), glass fragmen (gelas), brickstone fragmen (Batubata berfragmen candi), archa (statue), tulang belulang, atau bahkan sisa-sisa perahu tua (ships ruins). Tentang kondisi dan keadaan kawasan Medan sebelum awal abad-12 ini belum banyak diketahui.
Dalam catatan McKinnon (1984) diketahui bahwa, Kota Cina pada awalnya adalah daerah yang sangat dekat dengan laut, merupakan kawasan yang terpengaruh pasang surut, dan ber-rawa (lahan basah). Namun karena proses sedimentasi yang bergerak cepat setinggi 2 cm per tahun menjadikan kawasan ini menjadi daratan yang ’sepertinya’ jauh dari laut. Bila demikian, terdapat pengendapan delta setinggi 120-140 cm selama 800 tahun silam. Hal ini dibuktikan dengan lapisan tanah (statigrafi) berupa letak lapisan kerang dan kedalaman (speed) ekskavasi yang pada umumnya setelah kedalam 140 cm, ekskavasi dinyatakan steril dalam arti tidak ditemukan lagi artifak-artifak lain.
Berdasarkan catatan-catatan Tiongkok misalnya, diketahui bahwa beberapa penguasa di kawasan pesisir timur Sumatra (Sumatra east coast) ini telah melakukan kontak niaga dengan China ataupun dengan cara membayar upeti. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Wolters, (1970), mengemukakan bahwa nama Kota Cina tidak banyak diketahui dari catatan historis. Namun demikian, nama Kota Cina sangat akrap dalam ingatan kolektif masyarakatnya (folks memory) yang menunjuk pada ’pendudukan orang China’ (a fortified settlement occupied by Chinese).
Kota Cina merupakan satu-satu situs perkotaan (urban site) pra kebudayaan islam yang ditemukan hingga kini di Pulau Sumatra yang secara administratif pemerintahan terletak di kecamatan Medan Marelan Kota Medan. Situs ini berada pada posisi 30 43’ N dan 980 38’ E dan sekitar 1.5 meter dari permukaan laut (dpl). Luas situs ini berdasarkan hasil penelitian Balai Arkeologi Medan adalah sekitar 25 hektar, yang tidak mengikutsertakan Danau Siombak hingga sepanjang sungai Terjun. Bila seluruh kawasan ini digabungkan sebagai satu kesatuan situs Kota Cina, maka luasnya mencapai 100 hektar.
Kota Cina diyakini merupakan pemukiman awal hingga terbentuknya Kota Medan Sekarang. Merupakan bandar niaga kuno yang ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing pada kurun waktu abad ke-12 hingga abad ke 14. Hal ini banyak ditentukan oleh peninggalan arkeologis (archeologichal evidence) yang ditemukan pada saat penelitian dan ekskavasi di situs Kota Cina. Kenyataan ini didukung oleh posisi Kota Cina yang berdampingan langsung dengan Selat Malaka yakni jalur pelayaran utama sebagai “maritim sutra” sebelum jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511.
Oleh karena itu, bila berbicara tentang sejarah perkembangan Kota Medan dewasa ini maka Kota Cina adalah masa sejarah awal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal ini disebabkan oleh peranan Kota Cina sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi sekaligus sebagai tempat bertemunya pedagang asing dengan pemukim dikawasan Kota Cina. Namun kenyataanya adalah bahwa kawasan ini cenderung diabaikan dan luput dari perhatian.
Demikian pula bahwa apresiasi yang dilakukan oleh Sejarahwan dan Arkeolog adalah sebatas penelitian dan penggalian (ekskavasi) yang dari hasil penelitian tersebut merekomendasikan pentingnya upaya-upaya penyelamatan dan pengembangan serta pemamfaatan situs Kota Cina. Hal ini dikarenakan bahwa dari segi archeological evidencenya, diketahui bahwa situs Kota Cina mengandung temuan-temuan yang sangat penting sebagai bandar perniagaan kuno.
Dimasa kini, kondisi dan keadaan situs Kota Cina sangat bertolak belakang dengan kejayaannya dimasa silam, terlantar, tidak terawat dan mungkin juga akan segera menghilang. Disamping karena dijadikan sebagai lahan pertanian masyarakat, juga disebabkan oleh pemukiman penduduk yang sudah mulai padat. Oleh karena itu, bila tidak dilakukan langkah-langkah penyelamatan maka dalam waktu tidak lama lagi, minimal sepuluh tahun kedepan, maka situs yang sangat penting itu akan segera hilang.
Oleh karena itu, berdasarkan studi yang sudah dilakukan oleh sejarahwan dan archeolog menunjukkan bahwa situs tersebut perlu diselamatkan dengan melihat kelayakan dari aspek signifikansi, kebermanfaatan dan pola-pola pengembangan yang akan dilakukan dalam upaya penyelamatan situs Kota Cina. Hal mana adalah perlunya pembebasan lahan di Kota Cina pada titik-titik atau sector tertentu yang didasarkan pada skala urgensi dan signifikansi sisa-sisa arkeologisnya (archeologichal evidence). Hal ini sejalan dengan UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Kawasan dan Benda Cagar Budaya yang wajib dilindungi.
Oleh:
Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan 2010
Sumber : [You must be registered and logged in to see this link.]
Keberadaan Situs Kota Cina diketahui pada akhir abad 19 pada waktu kunjungan Anderson dan kemudian pada tahun 1875 Halewijn (1876) mencatatnya dengan nama Kota Cina, pada saat itu terdapat puluhan rumah tangga yang dikontrol oleh Sultan Deli di Labuhan. Kampung Terjun dan Hamparan Perak terletak hanya beberapa kilometer disebelah Barat dan disebelahnya terdapat Suku Duabelas Kota yang dikontrol oleh Kejuruan Hamparan Perak yakni seorang Melayu Karo (Veth, 1877).
Catatan awal keberadaan kawasan ini ditemukan dari riwayat perjalanan John Anderson, seorang Scotisch yang diutus dari Penang pada tahun 1823 dalam bukunya: ”Mission to the East Coast of Sumatra and Malay Penisula” yang menyebutkan bahwa di daerah tersebut terdapat batu bertulis yang masyarakat tidak dapat membaca. Anderson juga mengingatkan akan pentingnya Sei Deli sebagai jalur pelayaran sungai (riverine) dan pintu masuk (entrance) menghubungkan dataran tinggi (hinterland) dan lembah Deli.
Catatan Anderson tersebut dipublikasikan pada Tijdschrift van het Bataviasche Genootshap yang pada tahun 1882, yakni 20 tahun setelah pengusaha Belanda menginjakkan kakinya di Deli, controleur Labuhan Deli berkeinginan menyelidiki inskripsi sebagaimana yang dimaksud Anderson tersebut tetapi tidak menemukan batu bertulis itu. Namun demikian, sehubungan dengan ekspansi perkebunan Deli di kawasan ini, maka sejalan dengan banyaknya artifak seperti mata uang, archa tembikar, dan keramik dari Cina itu, maka pada tahun 1886 oleh Halewijn dicatat sebagai Kota Cina kemudian pada tahun 1914 dicatat lagi dengan resmi pada Oudheidkundig Verslaag (laporan Dinas Kepurbakalaan Belanda).
Namun demikian, bila memeriksa kembali catatan-catatan yang lebih awal, maka akan diperoleh penggambaran terhadap kawasan ini sebagai bandar perniagaan kuno. Alasannya adalah posisisnya yang berhadapan langsung dengan selat Malaka (Malaca strait) yang memegang peranan penting sebagai ”jalur maritim sutra” yang menghubungkan Guang Chou (Asia), Arab (Timur Tengah) dan Mesir (Afrika). Dengan demikian, tidak mengherankan apabila disepanjang selat Malaka terdapat bandar-bandar niaga ramai dikunjungi seperti Kota Cina, Kota Rentang, Pulau Kampai, Tamiang, Samudra [Pase], Jambi, Batu Sangkar dan lain-lain.
Situs Kota Cina diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya Kota Medan sekarang yang berasal dari permulaan abad ke-12. Hal mana ditunjukkan oleh banyaknya peninggalan atau bukti arkeologis (archeological evidence) yang tertuju pada satu era yakni sejak abad ke-12 hingga awal abad ke-14, seperti eartenware fragmen (tembikar), porcelain fragmen (keramik), coin (mata uang), glass fragmen (gelas), brickstone fragmen (Batubata berfragmen candi), archa (statue), tulang belulang, atau bahkan sisa-sisa perahu tua (ships ruins). Tentang kondisi dan keadaan kawasan Medan sebelum awal abad-12 ini belum banyak diketahui.
Dalam catatan McKinnon (1984) diketahui bahwa, Kota Cina pada awalnya adalah daerah yang sangat dekat dengan laut, merupakan kawasan yang terpengaruh pasang surut, dan ber-rawa (lahan basah). Namun karena proses sedimentasi yang bergerak cepat setinggi 2 cm per tahun menjadikan kawasan ini menjadi daratan yang ’sepertinya’ jauh dari laut. Bila demikian, terdapat pengendapan delta setinggi 120-140 cm selama 800 tahun silam. Hal ini dibuktikan dengan lapisan tanah (statigrafi) berupa letak lapisan kerang dan kedalaman (speed) ekskavasi yang pada umumnya setelah kedalam 140 cm, ekskavasi dinyatakan steril dalam arti tidak ditemukan lagi artifak-artifak lain.
Berdasarkan catatan-catatan Tiongkok misalnya, diketahui bahwa beberapa penguasa di kawasan pesisir timur Sumatra (Sumatra east coast) ini telah melakukan kontak niaga dengan China ataupun dengan cara membayar upeti. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Wolters, (1970), mengemukakan bahwa nama Kota Cina tidak banyak diketahui dari catatan historis. Namun demikian, nama Kota Cina sangat akrap dalam ingatan kolektif masyarakatnya (folks memory) yang menunjuk pada ’pendudukan orang China’ (a fortified settlement occupied by Chinese).
Kota Cina merupakan satu-satu situs perkotaan (urban site) pra kebudayaan islam yang ditemukan hingga kini di Pulau Sumatra yang secara administratif pemerintahan terletak di kecamatan Medan Marelan Kota Medan. Situs ini berada pada posisi 30 43’ N dan 980 38’ E dan sekitar 1.5 meter dari permukaan laut (dpl). Luas situs ini berdasarkan hasil penelitian Balai Arkeologi Medan adalah sekitar 25 hektar, yang tidak mengikutsertakan Danau Siombak hingga sepanjang sungai Terjun. Bila seluruh kawasan ini digabungkan sebagai satu kesatuan situs Kota Cina, maka luasnya mencapai 100 hektar.
Kota Cina diyakini merupakan pemukiman awal hingga terbentuknya Kota Medan Sekarang. Merupakan bandar niaga kuno yang ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing pada kurun waktu abad ke-12 hingga abad ke 14. Hal ini banyak ditentukan oleh peninggalan arkeologis (archeologichal evidence) yang ditemukan pada saat penelitian dan ekskavasi di situs Kota Cina. Kenyataan ini didukung oleh posisi Kota Cina yang berdampingan langsung dengan Selat Malaka yakni jalur pelayaran utama sebagai “maritim sutra” sebelum jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511.
Oleh karena itu, bila berbicara tentang sejarah perkembangan Kota Medan dewasa ini maka Kota Cina adalah masa sejarah awal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal ini disebabkan oleh peranan Kota Cina sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi sekaligus sebagai tempat bertemunya pedagang asing dengan pemukim dikawasan Kota Cina. Namun kenyataanya adalah bahwa kawasan ini cenderung diabaikan dan luput dari perhatian.
Demikian pula bahwa apresiasi yang dilakukan oleh Sejarahwan dan Arkeolog adalah sebatas penelitian dan penggalian (ekskavasi) yang dari hasil penelitian tersebut merekomendasikan pentingnya upaya-upaya penyelamatan dan pengembangan serta pemamfaatan situs Kota Cina. Hal ini dikarenakan bahwa dari segi archeological evidencenya, diketahui bahwa situs Kota Cina mengandung temuan-temuan yang sangat penting sebagai bandar perniagaan kuno.
Dimasa kini, kondisi dan keadaan situs Kota Cina sangat bertolak belakang dengan kejayaannya dimasa silam, terlantar, tidak terawat dan mungkin juga akan segera menghilang. Disamping karena dijadikan sebagai lahan pertanian masyarakat, juga disebabkan oleh pemukiman penduduk yang sudah mulai padat. Oleh karena itu, bila tidak dilakukan langkah-langkah penyelamatan maka dalam waktu tidak lama lagi, minimal sepuluh tahun kedepan, maka situs yang sangat penting itu akan segera hilang.
Oleh karena itu, berdasarkan studi yang sudah dilakukan oleh sejarahwan dan archeolog menunjukkan bahwa situs tersebut perlu diselamatkan dengan melihat kelayakan dari aspek signifikansi, kebermanfaatan dan pola-pola pengembangan yang akan dilakukan dalam upaya penyelamatan situs Kota Cina. Hal mana adalah perlunya pembebasan lahan di Kota Cina pada titik-titik atau sector tertentu yang didasarkan pada skala urgensi dan signifikansi sisa-sisa arkeologisnya (archeologichal evidence). Hal ini sejalan dengan UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Kawasan dan Benda Cagar Budaya yang wajib dilindungi.
Oleh:
Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan 2010
Sumber : [You must be registered and logged in to see this link.]