Indeks
Pasar properti sekunder dinilai sangat rentan dalam memberikan pelaporan transaksi yang tidak sebenarnya kepada kantor pajak. Sebab, biasanya dalam pasar sekunder (second) yang berperan hanyalah penjual, pembeli, broker (agen) dan notaris.
Executive Director Century 21 F Suherman mengungkapkan, sektor ini sering memanfaatkan celah hukum yang ada. Sebab, baik konsumen maupun penjual banyak yang telah memahami aturan pajak dan mengatahui celah hukumnya.
“Sebab dalam aturan disebutkan mencantumkan yang dilaporkan adalah nilai jual objek pajak (NJOP) dan nilai jual. Namun, ini sering menjadi celah dan dimanfaatkan oleh penjual dan pembeli, sebab mereka bisa memilih nilai yang terendah untuk dilaporkan, dalam hal ini NJOP tersebut dan bukan nilai jual sebenarnya,” jelas Suherman kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (26/5/2013).
Lebih lanjut, dia menyebut pihak-pihak yang terlibat dalam penjualan rumah second biasanya menggunakan sistem tahu sama tahu. Meski demikian, dia mengaku, broker tidak pernah dibolehkan untuk membangun prakarsa dan menentukan angka.
“Tidak pernah ada pelatihan kami kepada para agen yang seperti itu. Kebanyakan kasus, memang konsumennya yang sudah tahu sendiri. Makanya mereka TST saja. Sebab, pajaknya harus divalidasi bersama. Jadi, harus jujur sama jujur atau tidak jujur sama tidak jujur,” ungkap dia.
Suherman menyebut, terdapat beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan hal ini. Di mana ada penjual yang menginginkan dilaporkan pajaknya berdasarkan angka riil, sementara pembeli mengingnkan hanya NJOP.
“Ujung-ujungnya batal transaksi. Karena tidak ketemu. Sementara broker biasanya tidak dilibatkan dalam maslah yang berhubungan dengan hukum. Kalau notaris, umumnya tidak pernah menanyakan berapa harga riilnya, yang penting harga jual beli sudah disepakati kedua belah pihak, yakni penjual dan pembeli,” urainya.
Executive Director Century 21 F Suherman mengungkapkan, sektor ini sering memanfaatkan celah hukum yang ada. Sebab, baik konsumen maupun penjual banyak yang telah memahami aturan pajak dan mengatahui celah hukumnya.
“Sebab dalam aturan disebutkan mencantumkan yang dilaporkan adalah nilai jual objek pajak (NJOP) dan nilai jual. Namun, ini sering menjadi celah dan dimanfaatkan oleh penjual dan pembeli, sebab mereka bisa memilih nilai yang terendah untuk dilaporkan, dalam hal ini NJOP tersebut dan bukan nilai jual sebenarnya,” jelas Suherman kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (26/5/2013).
Lebih lanjut, dia menyebut pihak-pihak yang terlibat dalam penjualan rumah second biasanya menggunakan sistem tahu sama tahu. Meski demikian, dia mengaku, broker tidak pernah dibolehkan untuk membangun prakarsa dan menentukan angka.
“Tidak pernah ada pelatihan kami kepada para agen yang seperti itu. Kebanyakan kasus, memang konsumennya yang sudah tahu sendiri. Makanya mereka TST saja. Sebab, pajaknya harus divalidasi bersama. Jadi, harus jujur sama jujur atau tidak jujur sama tidak jujur,” ungkap dia.
Suherman menyebut, terdapat beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan hal ini. Di mana ada penjual yang menginginkan dilaporkan pajaknya berdasarkan angka riil, sementara pembeli mengingnkan hanya NJOP.
“Ujung-ujungnya batal transaksi. Karena tidak ketemu. Sementara broker biasanya tidak dilibatkan dalam maslah yang berhubungan dengan hukum. Kalau notaris, umumnya tidak pernah menanyakan berapa harga riilnya, yang penting harga jual beli sudah disepakati kedua belah pihak, yakni penjual dan pembeli,” urainya.
