Belum diketahui secara pasti penyebab gangguan jiwa, utamanya skizofrenia. Banyak faktor bisa berkontribusi, antara lain faktor genetik, kondisi prakelahiran, cedera otak, trauma, tekanan sosial, atau stres. Pemakaian narkotika dan obat-obatan psikotropika juga menjadi faktor pemicu gangguan jiwa jenis ini.
Gejala awal skizofrenia biasanya muncul di usia remaja atau dewasa muda. Meski demikian, ada juga gejala yang baru muncul di usia 40-an. Periode awal yang tidak ditangani, erat kaitannya dengan perburukan gejala. Karena itu, deteksi dini akan memberikan hasil yang lebih baik.
“Pasien termuda saya usia tujuh tahun. Pada anak, banyak faktor bisa jadi pemicu, selain memang ada bakat, yakni dendrit neurit di otak bermasalah sejak lahir,” kata dr. Bambang Eko Sunaryanto, Sp.KJ, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Indonesia (Arsawakoi), saat ditemui dalam kampanye Light the Hope for Schizophrenia di Jakarta. (Arsawakoi).
Direktur RS Jiwa Lawang, Malang ini mengungkapkan, salah didik dan pola pikir negatif yang diajarkan orang tua, berpengaruh besar. “Anak-anak yang dididik oleh orang tua yang pencemas, melarang segala macam, 'Jangan lari-lari nanti jatuh, jangan main di luar nanti hitam' dan juga pola pikir negatif, misalnya kurang empati dan simpati, bila terus-menerus terakumulasi, bisa membuat anak mengadopsi pola pikir yang sama. Fakta di lapangan, pendidikan spiritual yang terlalu ketat juga potensial membuat anak bingung,” katanya.
Secara garis besar, dr. Bambang mengungkapkan, orang tua sebaiknya mencermati dan membawanya ke dokter bila anak menunjukkan gejala temper tantrum yang berlebihan sehingga tidak bisa dikendalikan, suka lari atau hilang dari pantauan, tidak bisa tidur di malam hari, atau berperilaku aneh, seperti suka mengonsumsi sesuatu yang tidak layak dimakan, misalnya tanah, obat nyamuk, atau rambut.
Gejala awal skizofrenia biasanya muncul di usia remaja atau dewasa muda. Meski demikian, ada juga gejala yang baru muncul di usia 40-an. Periode awal yang tidak ditangani, erat kaitannya dengan perburukan gejala. Karena itu, deteksi dini akan memberikan hasil yang lebih baik.
“Pasien termuda saya usia tujuh tahun. Pada anak, banyak faktor bisa jadi pemicu, selain memang ada bakat, yakni dendrit neurit di otak bermasalah sejak lahir,” kata dr. Bambang Eko Sunaryanto, Sp.KJ, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Indonesia (Arsawakoi), saat ditemui dalam kampanye Light the Hope for Schizophrenia di Jakarta. (Arsawakoi).
Direktur RS Jiwa Lawang, Malang ini mengungkapkan, salah didik dan pola pikir negatif yang diajarkan orang tua, berpengaruh besar. “Anak-anak yang dididik oleh orang tua yang pencemas, melarang segala macam, 'Jangan lari-lari nanti jatuh, jangan main di luar nanti hitam' dan juga pola pikir negatif, misalnya kurang empati dan simpati, bila terus-menerus terakumulasi, bisa membuat anak mengadopsi pola pikir yang sama. Fakta di lapangan, pendidikan spiritual yang terlalu ketat juga potensial membuat anak bingung,” katanya.
Secara garis besar, dr. Bambang mengungkapkan, orang tua sebaiknya mencermati dan membawanya ke dokter bila anak menunjukkan gejala temper tantrum yang berlebihan sehingga tidak bisa dikendalikan, suka lari atau hilang dari pantauan, tidak bisa tidur di malam hari, atau berperilaku aneh, seperti suka mengonsumsi sesuatu yang tidak layak dimakan, misalnya tanah, obat nyamuk, atau rambut.