RENCANA tes keperawanan bagi calon siswi yang akan masuk SMA mendapat kecaman keras berbagai kalangan. Rencana tersebut akan diberlakukan Dinas Pendidikan Prabumulih Sumatera Selatan. Dinas Pendidikan setempat berdalih, tes keperawanan dapat menekan tindak asusila pelajar di kota tersebut. Tentu saja, ‘manuver’ yang dilakukan Dinas Pendidikan Prabumulih mengguncangkan dunia pendidikan di Tanah Air. Untungnya, di Yogya, yang notabene kota pendidikan dan kota pelajar, tidak akan menerapkan persyaratan semacam itu.
Mengapa tidak sekalian melakukan tes keperjakaan bagi calon siswa yang hendak masuk SMA? Dari aspek apapun, agaknya sulit untuk melakukan pembenaran atas rencana tes keperawanan yang hendak diterapkan Dinas Pendidikan Prabumulih.
Tes tersebut bukan saja kontraproduktif dan diskriminatif, melainkan juga melanggar prinsipprinsip HAM yang berlaku universal. Bahkan, tes keperawanan sama sekali tidak ada relevansinya dengan hak untuk menempuh pendidikan.
Kalau calon siswi ternyata tidak perawan, lantas mau apa? Apakah dilarang menempuh pendidikan? Tentu ini bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang diamanatkan konstitusi. Konstitusi menegaskan, semua orang atau semua
warganegara berhak dan berkedudukan sama untuk memperoleh pendidikan yang layak. Semua orang, berarti tanpa atribut apapun, baik laki-laki, perempuan, perawan/ tidak perawan, perjaka/tidak perjaka, haknya sama memperoleh pendidikan yang layak. Negara wajib menyediakan atau memfasilitasi agar semua orang tercukupi haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Alasan Dinas Pendidikan Prabumulih menerapkan tes keperawanan guna menekan tindak asusila pelajar di kota tersebut juga sangat tidak masuk akal. Bukankah dengan mengikuti pendidikan di sekolah, anak akan menjadi berperilaku lebih baik dan berbudi pekerti? Bukan malah sebaliknya, mereka yang ingin memperoleh pendidikan dan menjadi orang yang ‘berpendidikan’ malah dihambat. Terlepas apa penyebab dan latar belakangnya, tes keperawanan justru mengingkari makna pendidikan itu sendiri, yakni membentuk manusia berkualitas, berakhlak mulia dan berbudi pekerti.
Karena itu, kita mendesak agar Dinas Pendidikan Prabumulih membatalkan rencana tes keperawanan bagi calon siswi yang hendak masuk SMA. Bila Dinas Pendidikan setempat nekat menerapkannya, kita mengharapkan Menteri Pendidikan M Nuh mengambil langkah tegas untuk memberi sanksi secara administratif diikuti pembatalan persyaratan tes keperawanan.
Untuk menekan tindak asusila di kalangan pelajar tentu bukan dengan cara tes keperawanan, melainkan harus ada upaya terpadu dan komprehensif. Terpadu, yakni dengan melibatkan orangtua, sekolah, ulama maupun tokoh masyarakat,
serta lintas instansi. Sedang komprehensif, berarti harus bersifat menyeluruh dan integral dilakukan di semua sektor kehidupan masyarakat.
Mengapa tidak sekalian melakukan tes keperjakaan bagi calon siswa yang hendak masuk SMA? Dari aspek apapun, agaknya sulit untuk melakukan pembenaran atas rencana tes keperawanan yang hendak diterapkan Dinas Pendidikan Prabumulih.
Tes tersebut bukan saja kontraproduktif dan diskriminatif, melainkan juga melanggar prinsipprinsip HAM yang berlaku universal. Bahkan, tes keperawanan sama sekali tidak ada relevansinya dengan hak untuk menempuh pendidikan.
Kalau calon siswi ternyata tidak perawan, lantas mau apa? Apakah dilarang menempuh pendidikan? Tentu ini bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang diamanatkan konstitusi. Konstitusi menegaskan, semua orang atau semua
warganegara berhak dan berkedudukan sama untuk memperoleh pendidikan yang layak. Semua orang, berarti tanpa atribut apapun, baik laki-laki, perempuan, perawan/ tidak perawan, perjaka/tidak perjaka, haknya sama memperoleh pendidikan yang layak. Negara wajib menyediakan atau memfasilitasi agar semua orang tercukupi haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Alasan Dinas Pendidikan Prabumulih menerapkan tes keperawanan guna menekan tindak asusila pelajar di kota tersebut juga sangat tidak masuk akal. Bukankah dengan mengikuti pendidikan di sekolah, anak akan menjadi berperilaku lebih baik dan berbudi pekerti? Bukan malah sebaliknya, mereka yang ingin memperoleh pendidikan dan menjadi orang yang ‘berpendidikan’ malah dihambat. Terlepas apa penyebab dan latar belakangnya, tes keperawanan justru mengingkari makna pendidikan itu sendiri, yakni membentuk manusia berkualitas, berakhlak mulia dan berbudi pekerti.
Karena itu, kita mendesak agar Dinas Pendidikan Prabumulih membatalkan rencana tes keperawanan bagi calon siswi yang hendak masuk SMA. Bila Dinas Pendidikan setempat nekat menerapkannya, kita mengharapkan Menteri Pendidikan M Nuh mengambil langkah tegas untuk memberi sanksi secara administratif diikuti pembatalan persyaratan tes keperawanan.
Untuk menekan tindak asusila di kalangan pelajar tentu bukan dengan cara tes keperawanan, melainkan harus ada upaya terpadu dan komprehensif. Terpadu, yakni dengan melibatkan orangtua, sekolah, ulama maupun tokoh masyarakat,
serta lintas instansi. Sedang komprehensif, berarti harus bersifat menyeluruh dan integral dilakukan di semua sektor kehidupan masyarakat.