Di kaki gunung tambora, terdapat sebuah pedesaan yang sejuk. Pepohonan yang rindang tak jarang ditemui. Desa yang sangat dingin ketika sang mentari mulai masuk kedalam peristirahatannya. Begitu pula dengan kehidupan masyarakatnya. Tentram, damai, sejahtera dan tak ada sedikitpun yang namanya keributan. Desa Tambo, begitulah sebutan masyarakat bagi desa itu.
Di ujung timur pedesaan, hamparan yang pertama kali diintip sang mentari ketika bangun dari tidurnya. Terdapat sebuah rumah kecil, berdinding anyaman bambu, beralaskan tanah dan beratapkan ayaman daun kelapa kering. Tapi, keindahan isi rumah itu bak bulan 15 hari. Bagaimana tidak, setangkai kembang desa mekar didalam rumah itu. Tidak satu pasang mata pun ingin melewatkan keindahan dan kecantikan si kembang ketika dia merebahkan mahkotanya diluar rumah. Bahkan pepohonan di sekitarnya seakan ingin ikut berjalan ketika dia melangkahkan kaki mungilnya. Ketika ada orang bertanya “siapa gadis paling cantik di desa ?“. siapa lagi kalau bukan si Bulan. Begitulah panggilan kembang desa itu. Bulan hanya tinggal dengan ibunya. Dia memanggil ibunya dengan nama Minah. Bulan belum pernah melihat ayahnya. Ketika bulan dilahirkan ayahnya harus dipanggil sang maha kuasa. Ayahnya terseret derasnya arus sungai ketika memancing ikan di sungai dekat pegunungan. Tetapi itu semua tidak menghambat Bulan untuk tetap menjalani kehidupannya. Bulan pun tumbuh menjadi gadis yang dielu-elu kan di desa karena kebaikan dan kecantikan parasnya. Tapi anehnya, tidak ada satu lelaki pun yang pernah membuat hati bulan menunduk meminta perhatian darinya.
Suatu ketika, disaat malam begitu terang dengan cahaya bulan di langit. Ketika awan tebal harus berpindah ke desa tetangga. Terdengarlah rintihan seorang warga yang merasa kesakitan. “Aduh, sakit, sakit, sakit !!” suara itu pun sampai di telinga Bulan dan ibunya. Maklum saja rumahnya hanya beberapa meter dari rumahnya Bulan. Bulan dan ibunya pun bergegas menuju rumah warga yang kesakitan itu. Sesampainya disitu, terlihatlah seorang ibu yang sudah terbaring lemah dengan perut yang sudah membesar. Bu, tolong jagain ibu ini, biar saya yang pergi memanggil dukun beranak dan pak lurah, kata Bulan kepada ibunya. Sesaat kemudian, Bulan pun kembali ke rumah warga tersebut bersama dukun beranak dan pak lurah. Kondisi warga semakin lemah. Dukun beranak itu memulai pekerjaannya. “Atur nafasnya bu, dorong yang kuat”, kata Dukun beranak berulang-ulang. Namun warga tetap saja berteriak kesakitan. Tibalah saat bayi itu keluar dari rahim ibunya. Tapi, peristiwa yang menakutkan yang telah terjadi sebulan terakhir terjadi lagi di desa itu. Bayi dan ibunya meninggal ketika selesai melahirkan. Isak tangispun menjadi suara yang hanya terdengar pada malam itu. Ada satu pikiran yang menjanggal di kepala pak lurah, “ apakah dukun beranak tidak cukup untuk menangani kelahiran ?”. Hanya pertanyaan itu yang muncul di pikiran pak lurah semalam suntuk. Dia harus menyelesaikan masalah ini dan mensejahterakan kembali kehidupan warganya.
Sang mentari pun mulai mengintip dari balik gunung Tambora. Tetesan embun beranjak menjauhi daun-daun padi yang menghijau. Pagi itu, desa begitu ramai. Tidak ada warga yang menjalankan aktivitasnya seperti hari biasanya. Tidak ada warga yang menjenguk perkebunan maupun persawahan. Semua warga berkumpul di rumah warga yang meninggal tadi malam. Warga bergotong royong mengurus jenazah bayi dan ibunya itu. Mulai dari memandikan, mengkafani, menyolatkan sampai pemakaman. Seusai pemakaman, pak lurah mengumumkan kepada para warga supaya berkumpul di rumah warga yang meninggal untuk yasinan bersama dan ada satu hal yang ingin di musyawarahkan. Selesai pengumuman para warga langsung bubar dan kembali ke rumah masing-masing sembari bertanya-tanya mengenai hal yang ingin di musyawarahkan ole pak lurah. Mereka penasaran dan tidak sabar menunggu gelap. Begitu pula dengan bulan dan ibunya.
Sang mentari mulai turun dari puncak pegunungan di sebelah barat desa. Burung-burung berlomba untuk kembali ke sarangnya. Malam yang ditunggu para warga akhirnya tiba juga. Setelah semua warga berkumpul, pak lurah pun memulai pidatonya.
“Wargaku yang budiman, kejadian meninggalnya seorang ibu dengan bayinya ketika melahirkan adalah hal menakutkan bagi kita di desa kita ini. Sebelumnya saya minta maaf, bukannya saya tidak percaya dengan kemampuan dukun beranak yang selama ini telah membantu kita dalam proses kelahiran anak-anak kita. Tapi dengan kejadian seperti ini. Saya jadi berpikiran untuk menambah tenaga dukun yang menangani masalah kelahiran di desa kita. Supaya hal yg serupa tidak terjadi lagi. Apakah ada usulan dari kalian untuk menyelesaikan masalah ini ?”.
salah satu warga : bagaimana kalau kita memanggil dukun dari desa tetangga ?
Usulan bulan : pak lurah, kemarin saya pernah ke kota kehidupannya sangat jauh berbeda dengan kita. Saya mengamati kehidupan mereka waktu itu. Ketika ada yang melahirkan mereka tidak menggunakan dukun beranak tetapi mereka menggunakan tenaga dokter dan bidan. Ternyata tingkat keselamatan bayi dan ibunya sangat tinggi. Bagaimana kalau kita memanggil mereka saja ke desa kita ?
Dukun beranak : bagaimana dengan nasib kami sebagai dukun beranak di desa ini ?
Setelah lama berunding, akhirnya terciptalah kesepakatan untuk memanggil bidan dari kota. Tapi dalam menjalankan tugas bidan di bantu oleh dukun beranak yang ada di desa tersebut. Setelah didapatkan keputusan, lantunan surah yasin menjadi pengiring malam itu.
Siang berganti malam, malam berganti siang. Siklus itu terjadi secara alamiah. Sampai suatu hari, terlihat seorang wanita separuh baya berseragam putih dengan menggenggam tas hitam turun dari mobil. Ternyata bidan yang di datangkan pak lurah dari kota tiba juga di desa. Pak lurah dan para warga menyambut kedatangan bidan itu dengan tarian dan acara adat desa mereka. Bulan juga ikut serta sebagai penari. Ini adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh pemuda desa. Mereka bisa melihat betapa cantiknya bulan ketika di rias dan ketika tubuhnya di ayun-ayunkan dikala menari. Penyambutan itu begitu meriah. Kebahagiaan terpancar di muka pak lurah, bidan dan para warga desa itu.
Setelah beberapa kali bulan di langit berganti dari terang menjadi gelap. Padi di sawah mulai menguning. Tidak ada lagi bayi maupun ibunya yang meninggal dikala melahirkan. Para warga bersyukur atas kedatangan bidan di desa itu. Bulan dan ibunya bahagia karena usulannya dapat menyelesaikan permasalahan di desanya.
Di perkotaan, lalu lintas berlalu lalang adalah hal biasa yang disaksikan penduduk tiap harinya. Udara panas dan polusi terdapat disetiap sudut keramaian kota. Ternyatahari itu, sudah saatnya libur semester genap bagi para mahasiswa. Banyak mahasiswa yang pulamg ke kampung halamannya. Tetapi, bagi mereka yang tinggal di kota harus bingung untuk liburan kemana. Begitu halnya dengan Rio, mahasiswa kedokteran universitas ternama di mataram. Suasana pengap dan kebisingan di perkotaan membuat dia harus pintar-pintar memanfaatkan masa liburnya. Dia harus bisa mencari tempat rekreasi yang bisa menjernihkan kembali pikirannya. Tempat yang bisa memulihkan kembali tenaganya setelah terkuras oleh kesibukan disaat perkuliahan. Ketika Rio sibuk melist tempat yang menjadi tujuannya. Tiba-tiba terdengarlah deringan handphone.
“Halo ma”, jawab Rio.
“Rio kamu liburan ke desa tempat mama bekerja, tempatnya sejuk dan pemandangan indah. Selain berlibur kamu bisa membantu warga desa ini dalam hal kesehatan. Maklum disini belum ada tenaga medis. Apalagi dokter”. kata mamanya Rio”
. Setelah mempertimbangkannya, akhirnya Rio memutuskan untuk liburan ke desa tempat mamanya bekerja. Siapa sangka ternyata desa yang di maksud Rio adalah desa Tambo dan mamanya Rio adalah bidan yang di datangkan pak lurah desa Tambo.
Pagi itu, desa begitu sepi. Warga sudah banyak yang sudah bekerja di sawah mereka. Sudah hal biasa di desa Tambo jika musim panen tiba desa menjadi sepi. Pagi itu pula Rio tiba di desa Tambo. Sejenak turun dari mobil, Rio di suguhkan dengan keindahan alam desa dan pegunungan yang hijau dan udara yang segar dari desa Tambo. Karena kegirangan dengan keindahan itu Rio pun berlari dan dengan tidak sengaja dia menabrak seorang gadis desa. Untung Rio berhasil menarik tangan gadis itu dan akhirnya gadis itu tidak jadi jatuh. Rio menatap gadis itu, matanya hanya tertuju pada mata gadis itu, matanya seakan kaku untuk menatap kearah yang lain. Dalam hati Rio berbisik, “inikah yang dinamakan Bidadari”. Belum sempat Rio mengucapkan maaf, gadis itu pun langsung pergi dari hadapan Rio. Rio melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai di rumah tempat ibunya menetap di desa itu.
Setelah beberapa hari di desa itu, Rio mengajak ibunya untuk melakukan cek kesehatan untuk warga desa Tambo. Warga sangat antusias dengan kegiatan tersebut. Bulan dan ibunya juga ikut dalam kegiatan tersebut. Selesai ibunya, kini giliran Bulan untuk melakukan Cek kesehatan. Rio kaget melihat bulan disitu. “Kamu gadis yang tidak sengaja saya senggol kemarin kan ?” tanya rio. Mereka bercakap, berkenalan dan Rio juga meminta maaf atas kejadian kemarin.
Seusai kegiatan itu, Rio menjadi aneh. Dia sudah terserang perasaan rindu dengan Bulan. Tidak bisa di pungkiri lagi kalau dia jatuh cinta dengan Bulan. Bahkan dia calon seorang dokter tidak tahu obat apa yang bisa mengobati perasaan rindu itu. Ternyata, di rumahnya bulan merasakan hal yang sama. Dia baru menemukan lelaki yang bisa membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya ketika berhadapan dengannya. Dia baru menemukan lelaki yang bisa menyita pikirannya berhari-hari. Ketampanan rio bak Arjuna telah memikat hati Bulan. Cinta di hati dua sejoli ini semakin membuat mereka harus memaksakan diri untuk bertemu dan terus bertemu.
Rio dan Bulan semakin dekat dari hari ke hari. Mereka menjadi sering ketemu karena ide Rio yang menyuruh mamanya untuk mengangkat Bulan sebagai asisten pribadi mamanya. Bulan juga tidak sanggup menolak permintaan mamanya Rio.
Masa liburan perkuliahan tersisa seminggu lagi, namun Rio masih belum bisa mengungkapkan cintanya kepada Bulan. Begitu halnya Bulan, dia sebenarnya tidak sabar menunggu Rio untuk menjadi kekasihnya.
Malam itu, malam senin. Rio berencana mengungkapkan perasaannya kepada Bulan. Mereka janjian di pinggiran danau di desa itu. Bulan datang duluan di tempat itu. Tapi, Rio yang membuat janji tidak pernah nongol di tempat itu. Bulan menunggu sampai larut malam dan dia ketiduran sampai pagi di tempat itu. Bulan sangat kecewa dengan Rio, dia marah dan tidak ingin bertemu dengan Rio. Setelah kejadian itu Bulan jarang keluar rumah. Dia selalu mengurung diri di kamar, makan saja harus di kamar. Kehidupan Bulan menjadi tidak seperti biasanya. Ibunya menjadi khawatir dengan keadaan Bulan. Ibunya mencoba bertanya sebab apa yang mampu mengubah perilaku anaknya. Tapi, Bulan hanya membungkam.
Siang ini adalah waktu yang sangat berarti bagi Rio. Dalam hatinya dia tidak ingin melewatkannya dengan sia-sia. Ini adalah hari terakhir masa libur perkuliahannya. Secepatnya dia bergegas ke rumah Bulan. Tapi Bulan sedang tidak ada di rumah. Dia di paksa oleh ibunya ke sawah setelah beberapa hari mengasingkan diri di kamar. Rio lari ke sawah. Dari kejauhan dia melihat Bulan yang sedang perdiri di pematang sawah. Dia semakin mempercepat langkah kakinya dan dia tiba di hadapan Bulan. Bulan kaget melihat Rio di hadapannya. Dia pikir Rio tidak akan kembali lagi. Tapi kemarahannya muncul dan dia lari ingin menghindari Rio. Tapi Rio, menarik tangannya.
“Bulan maafin aku, aku tidak bermaksud membuat kamu kecewa. Aku tidak bermaksud untuk tidak menepati janji waktu itu “.
“omong kosong, aku tidak percaya dengan kata-katamu. Lepaskan tangan ku !”. jawab bulan.
“Aku tidak akan melepaskanmu. Dengarkan dulu penjelasanku. Kemarin mamaku anemianya kambuh dan aku harus membawanya ke rumah sakit di kota. Maafin aku Bulan“.
“Apa ? tante masuk rumah sakit. Bagaimana keadaanya sekarang Rio ?” tanya bulan khawatir.
“Mama sudah baikan. Kemarin sudah pulang ke rumah. Tapi saat ini masih di kota. Bulan ! ( sambil memegang kedua tangan Bulan ) besok aku harus kembali ke kota untuk melanjutkan kuliahku. Tapi aku sempatkan hari ini untuk menemuimu. Aku harus bilang bilang ini. Bulan ! aaaaa…..ku….su….ka sama kamu. Apa kamu mau jadi kekasih aku ?”
“Tapi besok kamu akan ke kota. Secepat itu kau akan meninggalkan ku ?”. kata Bulan.
“Bulan ! kuliahku tersisa satu tahun. Aku harus menyelesaikannya. Aku janji sama kamu, aku akan melamarmu setelah aku lulus. Kamu harus percaya sama aku !
“Umhh”. (Bulan hanya menggumang)
“ bagaimana Bulan mau tidak jadi kekasih aku ?” tanya Rio lagi.
“Umhhh iyah ( Bulan mengangguk ).
Siang itu kebahagiaan terpancar dari kedua wajah sejoli yang telah disatukn oleh cinta. Di tengah sawah yang luas. Di musim tanam padi. Di saksikan oleh burung-burung yang terbang dan para petani yang sedang bercocok panen. Namun cinta yang baru saja menyatu harus terpisah keesokan harinya oleh jarak yang jauh antara desa dan kota dan waktu yang panjang. Keesokan harinya Bulan harus melepas Rio tapi bukan berarti cintanya harus dilepas juga.
Sang mentari tak pernah berhenti untuk terbit dan terbenam. Daun jati jatuh berguguran pertanda musim berganti. Tanam berganti dengan panen dan begitu juga sebaliknya. Dari kejauhan terlihat kembang desa mengintip di jendela sembari menunggu cintanya yang akan menjemputnya. Suara gendang dan keramaian terdengar ditengah desa. Suara itu semakin ke timur dan semakin dekat dengan rumah si kembang desa. Akhirnya suara itu benar-benar ada di depan rumah si kembang desa. Bulan pun melihat ada apa di luar. Matanya pun berbinar melihat Rio, orangtuanya dan warga yang mengiringi dengan musik gendang itu. Rio mendekati Bulan.
“ Bulan ! apakah kamu mau menikah dengan ku ?”.( sambil membuka kotak cincin )
Bulan tidak menjawab, dia menagis terharu sambil menganggukkan kepalanya pertanda dia setuju dengan ajakan Rio. Bulan bahagia karena Rio menepati janjinya untuk meminang dirinya.
Hari ini langit begitu cerah. Angin sepoi-sepoi membelai dedaunan di pepohonan yang tinggi. Pegunungan dan alam desa Tambo seakan tersenyum dan memberikan ucapan selamat atas pernikahan Rio dan Bulan. Desa begitu ramai. Warga tidak ada yang menjenguk kebun dan sawah mereka. Ucapan do’a dan selamat selalu di khaturkan oleh siapa saja yang di temui. Rio dan Bulan hidup bahagia di desa Tambo. Rio bekerja sebagai dokter di Desa itu dan mendirikan rumah sakit. Sedangkan mamanya tetap sebagai bidan dan Bulan menjadi perawat di rumah sakit itu. Hingga akhirnya mereka mempunyai seorang putra yang membuat desa Tambo menjadi semakin ramai. Sang burung datang ke desa Tambo dan menggulung cerita ini.
sekian
Di ujung timur pedesaan, hamparan yang pertama kali diintip sang mentari ketika bangun dari tidurnya. Terdapat sebuah rumah kecil, berdinding anyaman bambu, beralaskan tanah dan beratapkan ayaman daun kelapa kering. Tapi, keindahan isi rumah itu bak bulan 15 hari. Bagaimana tidak, setangkai kembang desa mekar didalam rumah itu. Tidak satu pasang mata pun ingin melewatkan keindahan dan kecantikan si kembang ketika dia merebahkan mahkotanya diluar rumah. Bahkan pepohonan di sekitarnya seakan ingin ikut berjalan ketika dia melangkahkan kaki mungilnya. Ketika ada orang bertanya “siapa gadis paling cantik di desa ?“. siapa lagi kalau bukan si Bulan. Begitulah panggilan kembang desa itu. Bulan hanya tinggal dengan ibunya. Dia memanggil ibunya dengan nama Minah. Bulan belum pernah melihat ayahnya. Ketika bulan dilahirkan ayahnya harus dipanggil sang maha kuasa. Ayahnya terseret derasnya arus sungai ketika memancing ikan di sungai dekat pegunungan. Tetapi itu semua tidak menghambat Bulan untuk tetap menjalani kehidupannya. Bulan pun tumbuh menjadi gadis yang dielu-elu kan di desa karena kebaikan dan kecantikan parasnya. Tapi anehnya, tidak ada satu lelaki pun yang pernah membuat hati bulan menunduk meminta perhatian darinya.
Suatu ketika, disaat malam begitu terang dengan cahaya bulan di langit. Ketika awan tebal harus berpindah ke desa tetangga. Terdengarlah rintihan seorang warga yang merasa kesakitan. “Aduh, sakit, sakit, sakit !!” suara itu pun sampai di telinga Bulan dan ibunya. Maklum saja rumahnya hanya beberapa meter dari rumahnya Bulan. Bulan dan ibunya pun bergegas menuju rumah warga yang kesakitan itu. Sesampainya disitu, terlihatlah seorang ibu yang sudah terbaring lemah dengan perut yang sudah membesar. Bu, tolong jagain ibu ini, biar saya yang pergi memanggil dukun beranak dan pak lurah, kata Bulan kepada ibunya. Sesaat kemudian, Bulan pun kembali ke rumah warga tersebut bersama dukun beranak dan pak lurah. Kondisi warga semakin lemah. Dukun beranak itu memulai pekerjaannya. “Atur nafasnya bu, dorong yang kuat”, kata Dukun beranak berulang-ulang. Namun warga tetap saja berteriak kesakitan. Tibalah saat bayi itu keluar dari rahim ibunya. Tapi, peristiwa yang menakutkan yang telah terjadi sebulan terakhir terjadi lagi di desa itu. Bayi dan ibunya meninggal ketika selesai melahirkan. Isak tangispun menjadi suara yang hanya terdengar pada malam itu. Ada satu pikiran yang menjanggal di kepala pak lurah, “ apakah dukun beranak tidak cukup untuk menangani kelahiran ?”. Hanya pertanyaan itu yang muncul di pikiran pak lurah semalam suntuk. Dia harus menyelesaikan masalah ini dan mensejahterakan kembali kehidupan warganya.
Sang mentari pun mulai mengintip dari balik gunung Tambora. Tetesan embun beranjak menjauhi daun-daun padi yang menghijau. Pagi itu, desa begitu ramai. Tidak ada warga yang menjalankan aktivitasnya seperti hari biasanya. Tidak ada warga yang menjenguk perkebunan maupun persawahan. Semua warga berkumpul di rumah warga yang meninggal tadi malam. Warga bergotong royong mengurus jenazah bayi dan ibunya itu. Mulai dari memandikan, mengkafani, menyolatkan sampai pemakaman. Seusai pemakaman, pak lurah mengumumkan kepada para warga supaya berkumpul di rumah warga yang meninggal untuk yasinan bersama dan ada satu hal yang ingin di musyawarahkan. Selesai pengumuman para warga langsung bubar dan kembali ke rumah masing-masing sembari bertanya-tanya mengenai hal yang ingin di musyawarahkan ole pak lurah. Mereka penasaran dan tidak sabar menunggu gelap. Begitu pula dengan bulan dan ibunya.
Sang mentari mulai turun dari puncak pegunungan di sebelah barat desa. Burung-burung berlomba untuk kembali ke sarangnya. Malam yang ditunggu para warga akhirnya tiba juga. Setelah semua warga berkumpul, pak lurah pun memulai pidatonya.
“Wargaku yang budiman, kejadian meninggalnya seorang ibu dengan bayinya ketika melahirkan adalah hal menakutkan bagi kita di desa kita ini. Sebelumnya saya minta maaf, bukannya saya tidak percaya dengan kemampuan dukun beranak yang selama ini telah membantu kita dalam proses kelahiran anak-anak kita. Tapi dengan kejadian seperti ini. Saya jadi berpikiran untuk menambah tenaga dukun yang menangani masalah kelahiran di desa kita. Supaya hal yg serupa tidak terjadi lagi. Apakah ada usulan dari kalian untuk menyelesaikan masalah ini ?”.
salah satu warga : bagaimana kalau kita memanggil dukun dari desa tetangga ?
Usulan bulan : pak lurah, kemarin saya pernah ke kota kehidupannya sangat jauh berbeda dengan kita. Saya mengamati kehidupan mereka waktu itu. Ketika ada yang melahirkan mereka tidak menggunakan dukun beranak tetapi mereka menggunakan tenaga dokter dan bidan. Ternyata tingkat keselamatan bayi dan ibunya sangat tinggi. Bagaimana kalau kita memanggil mereka saja ke desa kita ?
Dukun beranak : bagaimana dengan nasib kami sebagai dukun beranak di desa ini ?
Setelah lama berunding, akhirnya terciptalah kesepakatan untuk memanggil bidan dari kota. Tapi dalam menjalankan tugas bidan di bantu oleh dukun beranak yang ada di desa tersebut. Setelah didapatkan keputusan, lantunan surah yasin menjadi pengiring malam itu.
Siang berganti malam, malam berganti siang. Siklus itu terjadi secara alamiah. Sampai suatu hari, terlihat seorang wanita separuh baya berseragam putih dengan menggenggam tas hitam turun dari mobil. Ternyata bidan yang di datangkan pak lurah dari kota tiba juga di desa. Pak lurah dan para warga menyambut kedatangan bidan itu dengan tarian dan acara adat desa mereka. Bulan juga ikut serta sebagai penari. Ini adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh pemuda desa. Mereka bisa melihat betapa cantiknya bulan ketika di rias dan ketika tubuhnya di ayun-ayunkan dikala menari. Penyambutan itu begitu meriah. Kebahagiaan terpancar di muka pak lurah, bidan dan para warga desa itu.
Setelah beberapa kali bulan di langit berganti dari terang menjadi gelap. Padi di sawah mulai menguning. Tidak ada lagi bayi maupun ibunya yang meninggal dikala melahirkan. Para warga bersyukur atas kedatangan bidan di desa itu. Bulan dan ibunya bahagia karena usulannya dapat menyelesaikan permasalahan di desanya.
Di perkotaan, lalu lintas berlalu lalang adalah hal biasa yang disaksikan penduduk tiap harinya. Udara panas dan polusi terdapat disetiap sudut keramaian kota. Ternyatahari itu, sudah saatnya libur semester genap bagi para mahasiswa. Banyak mahasiswa yang pulamg ke kampung halamannya. Tetapi, bagi mereka yang tinggal di kota harus bingung untuk liburan kemana. Begitu halnya dengan Rio, mahasiswa kedokteran universitas ternama di mataram. Suasana pengap dan kebisingan di perkotaan membuat dia harus pintar-pintar memanfaatkan masa liburnya. Dia harus bisa mencari tempat rekreasi yang bisa menjernihkan kembali pikirannya. Tempat yang bisa memulihkan kembali tenaganya setelah terkuras oleh kesibukan disaat perkuliahan. Ketika Rio sibuk melist tempat yang menjadi tujuannya. Tiba-tiba terdengarlah deringan handphone.
“Halo ma”, jawab Rio.
“Rio kamu liburan ke desa tempat mama bekerja, tempatnya sejuk dan pemandangan indah. Selain berlibur kamu bisa membantu warga desa ini dalam hal kesehatan. Maklum disini belum ada tenaga medis. Apalagi dokter”. kata mamanya Rio”
. Setelah mempertimbangkannya, akhirnya Rio memutuskan untuk liburan ke desa tempat mamanya bekerja. Siapa sangka ternyata desa yang di maksud Rio adalah desa Tambo dan mamanya Rio adalah bidan yang di datangkan pak lurah desa Tambo.
Pagi itu, desa begitu sepi. Warga sudah banyak yang sudah bekerja di sawah mereka. Sudah hal biasa di desa Tambo jika musim panen tiba desa menjadi sepi. Pagi itu pula Rio tiba di desa Tambo. Sejenak turun dari mobil, Rio di suguhkan dengan keindahan alam desa dan pegunungan yang hijau dan udara yang segar dari desa Tambo. Karena kegirangan dengan keindahan itu Rio pun berlari dan dengan tidak sengaja dia menabrak seorang gadis desa. Untung Rio berhasil menarik tangan gadis itu dan akhirnya gadis itu tidak jadi jatuh. Rio menatap gadis itu, matanya hanya tertuju pada mata gadis itu, matanya seakan kaku untuk menatap kearah yang lain. Dalam hati Rio berbisik, “inikah yang dinamakan Bidadari”. Belum sempat Rio mengucapkan maaf, gadis itu pun langsung pergi dari hadapan Rio. Rio melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai di rumah tempat ibunya menetap di desa itu.
Setelah beberapa hari di desa itu, Rio mengajak ibunya untuk melakukan cek kesehatan untuk warga desa Tambo. Warga sangat antusias dengan kegiatan tersebut. Bulan dan ibunya juga ikut dalam kegiatan tersebut. Selesai ibunya, kini giliran Bulan untuk melakukan Cek kesehatan. Rio kaget melihat bulan disitu. “Kamu gadis yang tidak sengaja saya senggol kemarin kan ?” tanya rio. Mereka bercakap, berkenalan dan Rio juga meminta maaf atas kejadian kemarin.
Seusai kegiatan itu, Rio menjadi aneh. Dia sudah terserang perasaan rindu dengan Bulan. Tidak bisa di pungkiri lagi kalau dia jatuh cinta dengan Bulan. Bahkan dia calon seorang dokter tidak tahu obat apa yang bisa mengobati perasaan rindu itu. Ternyata, di rumahnya bulan merasakan hal yang sama. Dia baru menemukan lelaki yang bisa membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya ketika berhadapan dengannya. Dia baru menemukan lelaki yang bisa menyita pikirannya berhari-hari. Ketampanan rio bak Arjuna telah memikat hati Bulan. Cinta di hati dua sejoli ini semakin membuat mereka harus memaksakan diri untuk bertemu dan terus bertemu.
Rio dan Bulan semakin dekat dari hari ke hari. Mereka menjadi sering ketemu karena ide Rio yang menyuruh mamanya untuk mengangkat Bulan sebagai asisten pribadi mamanya. Bulan juga tidak sanggup menolak permintaan mamanya Rio.
Masa liburan perkuliahan tersisa seminggu lagi, namun Rio masih belum bisa mengungkapkan cintanya kepada Bulan. Begitu halnya Bulan, dia sebenarnya tidak sabar menunggu Rio untuk menjadi kekasihnya.
Malam itu, malam senin. Rio berencana mengungkapkan perasaannya kepada Bulan. Mereka janjian di pinggiran danau di desa itu. Bulan datang duluan di tempat itu. Tapi, Rio yang membuat janji tidak pernah nongol di tempat itu. Bulan menunggu sampai larut malam dan dia ketiduran sampai pagi di tempat itu. Bulan sangat kecewa dengan Rio, dia marah dan tidak ingin bertemu dengan Rio. Setelah kejadian itu Bulan jarang keluar rumah. Dia selalu mengurung diri di kamar, makan saja harus di kamar. Kehidupan Bulan menjadi tidak seperti biasanya. Ibunya menjadi khawatir dengan keadaan Bulan. Ibunya mencoba bertanya sebab apa yang mampu mengubah perilaku anaknya. Tapi, Bulan hanya membungkam.
Siang ini adalah waktu yang sangat berarti bagi Rio. Dalam hatinya dia tidak ingin melewatkannya dengan sia-sia. Ini adalah hari terakhir masa libur perkuliahannya. Secepatnya dia bergegas ke rumah Bulan. Tapi Bulan sedang tidak ada di rumah. Dia di paksa oleh ibunya ke sawah setelah beberapa hari mengasingkan diri di kamar. Rio lari ke sawah. Dari kejauhan dia melihat Bulan yang sedang perdiri di pematang sawah. Dia semakin mempercepat langkah kakinya dan dia tiba di hadapan Bulan. Bulan kaget melihat Rio di hadapannya. Dia pikir Rio tidak akan kembali lagi. Tapi kemarahannya muncul dan dia lari ingin menghindari Rio. Tapi Rio, menarik tangannya.
“Bulan maafin aku, aku tidak bermaksud membuat kamu kecewa. Aku tidak bermaksud untuk tidak menepati janji waktu itu “.
“omong kosong, aku tidak percaya dengan kata-katamu. Lepaskan tangan ku !”. jawab bulan.
“Aku tidak akan melepaskanmu. Dengarkan dulu penjelasanku. Kemarin mamaku anemianya kambuh dan aku harus membawanya ke rumah sakit di kota. Maafin aku Bulan“.
“Apa ? tante masuk rumah sakit. Bagaimana keadaanya sekarang Rio ?” tanya bulan khawatir.
“Mama sudah baikan. Kemarin sudah pulang ke rumah. Tapi saat ini masih di kota. Bulan ! ( sambil memegang kedua tangan Bulan ) besok aku harus kembali ke kota untuk melanjutkan kuliahku. Tapi aku sempatkan hari ini untuk menemuimu. Aku harus bilang bilang ini. Bulan ! aaaaa…..ku….su….ka sama kamu. Apa kamu mau jadi kekasih aku ?”
“Tapi besok kamu akan ke kota. Secepat itu kau akan meninggalkan ku ?”. kata Bulan.
“Bulan ! kuliahku tersisa satu tahun. Aku harus menyelesaikannya. Aku janji sama kamu, aku akan melamarmu setelah aku lulus. Kamu harus percaya sama aku !
“Umhh”. (Bulan hanya menggumang)
“ bagaimana Bulan mau tidak jadi kekasih aku ?” tanya Rio lagi.
“Umhhh iyah ( Bulan mengangguk ).
Siang itu kebahagiaan terpancar dari kedua wajah sejoli yang telah disatukn oleh cinta. Di tengah sawah yang luas. Di musim tanam padi. Di saksikan oleh burung-burung yang terbang dan para petani yang sedang bercocok panen. Namun cinta yang baru saja menyatu harus terpisah keesokan harinya oleh jarak yang jauh antara desa dan kota dan waktu yang panjang. Keesokan harinya Bulan harus melepas Rio tapi bukan berarti cintanya harus dilepas juga.
Sang mentari tak pernah berhenti untuk terbit dan terbenam. Daun jati jatuh berguguran pertanda musim berganti. Tanam berganti dengan panen dan begitu juga sebaliknya. Dari kejauhan terlihat kembang desa mengintip di jendela sembari menunggu cintanya yang akan menjemputnya. Suara gendang dan keramaian terdengar ditengah desa. Suara itu semakin ke timur dan semakin dekat dengan rumah si kembang desa. Akhirnya suara itu benar-benar ada di depan rumah si kembang desa. Bulan pun melihat ada apa di luar. Matanya pun berbinar melihat Rio, orangtuanya dan warga yang mengiringi dengan musik gendang itu. Rio mendekati Bulan.
“ Bulan ! apakah kamu mau menikah dengan ku ?”.( sambil membuka kotak cincin )
Bulan tidak menjawab, dia menagis terharu sambil menganggukkan kepalanya pertanda dia setuju dengan ajakan Rio. Bulan bahagia karena Rio menepati janjinya untuk meminang dirinya.
Hari ini langit begitu cerah. Angin sepoi-sepoi membelai dedaunan di pepohonan yang tinggi. Pegunungan dan alam desa Tambo seakan tersenyum dan memberikan ucapan selamat atas pernikahan Rio dan Bulan. Desa begitu ramai. Warga tidak ada yang menjenguk kebun dan sawah mereka. Ucapan do’a dan selamat selalu di khaturkan oleh siapa saja yang di temui. Rio dan Bulan hidup bahagia di desa Tambo. Rio bekerja sebagai dokter di Desa itu dan mendirikan rumah sakit. Sedangkan mamanya tetap sebagai bidan dan Bulan menjadi perawat di rumah sakit itu. Hingga akhirnya mereka mempunyai seorang putra yang membuat desa Tambo menjadi semakin ramai. Sang burung datang ke desa Tambo dan menggulung cerita ini.
sekian