Tidak ada agama di dunia ini yang kemunculan, kebangkitan dan jejak langkahnya dalam sejarah membuat orang di seluruh penjuru dunia tercengang dan takjub. Mao Tze Tung, pemimpin komunis China pernah mencanangkan program “ langkah raksasa” ( Giant Step) untuk memicu dan memacu kemajuan bangsanya, tapi gagal total. Giant step sesungguhnya terjadi oleh Islam dalam merambah semak belukar dan hutan rimba pergulatan dunia dan kehidupan manusia. Bangsa yang tadinya begitu jahil dan jumud, bangsa Arab, mampu disulap oleh Islam menjadi bangsa yang paling dinamis sepanjang sejarah dunia, sehingga dalam waktu kurang dari seratus tahun mampu menciptakan sebuah wilayah darul Islam yang tiada tolok bandingnya dalam sejarah dunia. Dua super power dunia saat itu ada dicengkraman dan lindungannya; Bizantium dan Persia, kekuasaannya meliputi wilayah-wilayah Oukumene atau The Cradle of Civiilisation, pokoknya dari Afrika utara hingga India Selatan. Semua itu berkat kepemimpinan seorang Nabi Besar, Muhammad SAW.
Maka terbuktilah kebesaran dan kebenaran Allah yang sungguh tidak keliru memilih Sang Mustafa untuk mengembang tugas membawa risalah Islam dan rahmat kesegenap pelosok dan penjuru dunia. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam Qur’an, Al Ambiya, ayat 170,” Dan tiada kami mengutus kamu melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam.” Dengan kesempurnaan akhlak serta kekuatan jiwa dan karakter yang dimilki, Rasulullah Al-Amin, berhasil mengembang tugasnya sebagai Nabi sekaligus raja di raja dan pemimpin besar, sehingga mendapat gelar oleh Michael H. Hart sebagai tokoh paling berpengaruh dan paling kuat sepanjang masa. Mengatasi kebesaran Nabi Isa, Isaac Newton, Siddhartha Gautama, atau Kong Hu Cu. Semasa beliau, dasar atau fondasi bagi sebuah word state telah dipancangkan, berupa agama yang diridhoi Allah SWT, Islam yang membawa Al Quran dan Sunnah Rasul sebagai obor atau dian yang tak kunjung padam.
Seandainya para khalifah, raja, sultan, presiden, ulil amri, ulama, pemimpin Islam yang datang ba’da wafat beliau mau selalu menteladani dan mengamalkan ajaran-ajaran kepemimpinan dan sunnah Nabi , maka pastilah seluruh bumi dan seisinya telah Islam. Tapi apa lacur, alih-alih, menjadikan dunia seluruhnya Islam dan makmur sejahtera, ummat Islam yang ada malah karam dalam keterpurukan dan kemandegan yang nyaris sempurna dan telak. Dari Marokko sampai Merauke hanya kantong-kantong kemiskinan Islam yang menyata dan menyebar, walau di sana sini ada juga keberlimpahan, tapi itu hanyalah semacam berkah alam yang terberikan secara gratis ; Minyak dan dan sumber daya alam yang kaya dan beragam. Dalam kancah pesaingan internasional yang mengandalkan kreatifitas, sains, dan inovasi kita kalah jauh dengan penganut agama lain, Nasrani, Budha bahkan oleh kaum atheis. Boro-boro mau punya pengaruh ekonomi dan politik, yang ada sebagian besar negara-negara Islam telah diacak-acak oleh bangsa lain dan kompradornya di negara masing-masing. Jadi semua kebesaran, kejayaan dan kemulyaan Islam awal, kini tinggal kenangan yang entah kapan akan mengalami renesan yang sesungguhnya.
Lihat saja di Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI) ini. Partai-partai Islam sebagai refresentasi kekuatan Islam yang seharusnya mengembang misi profetik ke Nabian, yang terdiri dari program humanisasi, liberasi dan transedensi, seperti yang digagas cendekiawan muslim Kuntowijoyo almarhum, sungguh telah mengalami disorientasi dan kegamangan di tengah percaturan politik melawan kekuatan partai-partai nasionalis, sosialis atau sekuler . Bukan saja secara personal kepemimpinan telah mengalami degradasi kepercayaan yang parah, akibat prilaku koruptif sebagian eksponennya, tapi secara ideologi masyarakat juga dibuat bingung karena tiadanya konsisitensi dalam mengusung visi dan misi keislaman yang tegas dan jelas. Sepertinya mereka malu-malu mengusung warna atau karakter Islamnya yang tercermin dari prilaku dan program mereka. Mereka telah gagal menjadi party identification tempat ummat bercermin. Partai-partai Islam bukanlah lagi jalan untuk mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan ummat yang sahih.
Dalam rekruitmen misalnya, itu dilakukan secara asal-asalan dengan tanpa menyeleksi lagi komitmen dan wawasan Islam para kader, serta berpatokan pada wibawa dan charisma. Sehingga ada beberapa partai yang berlabel Islam atau berbasis Islam yang memilikii kader mantan preman, atau artis kacangan tapi banyak uangnya. Tak ada yang salah dengan kader-kader tipe instan tersebut, andainya mereka hanya caleg sepatu, tapi banyak dari mereka menjadi caleg jadi, yang tentu saja akan membawa citra tertentu di mata publik. Dan apa mereka bisa diharap untuk bisa memperjuangkan gagasan atau ide-ide profetik secara all out atau maksimal. Yang banyak terjadi adalah, jika kader-kader model begitu mendapat tekanan atau cobaan, mereka dengan mudahnya lompat pagar dan beralih ke partai lain yang bisa memuaskan hasrat dan kepentingan pribadinya.
Nah, momentum Maulid Nabi bisa dijadikan sebagai titik keberangkatan dan kebangkitan ummat, untuk memulai sebuah sejarah dan lembaran baru muslim yang lebih bermakna dalam segala kiprahnya. Dengan menjadikan Nabi sebagai teladan utama dan guru besar, serta beriman, mencintai dan menjadi pengikut setia Nabi penutup kerasulan, maka kejayaan Islam akan kembali bisa diraih. Apalah artinya andai kita hari ini memulyakan dan merayakan hari kelahiran sang Mustafa, tetapi besok dan seterusnya kita mengabaikan dan menyepelekan hukum dan tuntunan suci yang disampaikan kepeda beliau oleh Allah SWT. Ataupun yang disunnahkan oleh beliau dalam kedudukannya sebagai Nabi utusan Allah. Itu sama saja mengejek Nabi. Jalaluddin Rumi mengatakan,” Dalam ketololanku aku telah mengejekmu ya Muhammad, tapi aku sendirilah yang patut diejek dan mendapat hukuman.”
Mengapa kita tidak mau mengenang, merayakan dan memulyakan Nabi sendiri, padahal banyak orang genius dunia mengaguminya. Salah satunya adalah penyair Jerman yang mendunia, Johann Wolfgang von Gothe yang telah menulis sajak berjudul,” Mahomet Gesang” ( nyanyian Muhammad) yang berisi kekaguman pada perjuangan Rasulullah dalam menyampaikan risalah Islam. Menurut Goethe, seperti yang dikutip Abdul Hadi WM dalam eseinya, “ Rasulullah dimata Goethe dan Iqbal, “ Kemunculan Nabi Muhammad di panggung sejarah kemanusiaan, seperti munculnya sungai besar yang mengalir deras tidak terhalang oleh batu-batu karang besar dan sanggup menyuburkan tanah-tanah yang tandus dan gersang. Arus dan aliran sungai kenabian itu dapat mengalahkan batu-batu karang oleh karena berasal dari langit. Ia bagaikan hujan yang diturunkan ke bumi untuk menyuburkan kembali tanah-tanah yang hampir mati. Demikianlah ajaran Islam itu diturunkan untuk menghidupkan kembali jiwa manusia yang telah mati akibat kejahilannya terhadap kebenaran dan hakekat ajaran tauhid.
Akan tetapi walaupun sekiranya semua manusia tidak mau memulyakan Rasulullah, namun Nabi Muhammad akan tetap menjadi manusia yang paling utama di sisi Allah SWT. Sejatinya beliau mulya bukan karena dimulyakan oleh manusia yang bersedia menjadi penglkutnya, tetapi justru karena dimulyakan oleh Allah sendiri. “ Katakanlah: Jika kamu ( benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” Ali Imran ayat 31.
Di Mandar, dalam kumpulan syair Ditirakkaqna Alang, beberapa baitnya berbunyi ;
Allah, dianna puang nabitta / Allah, iyamo tirakkaq alang / Allah, malaqbang lino daeng / Allah, siola issi didunnia
Allah, puangngi tia Muhammaq / Allah, iyamo tirakkaq alang / Allah, mallaqbang lino daeng / Allah, dunnia di akeraq.
Maka terbuktilah kebesaran dan kebenaran Allah yang sungguh tidak keliru memilih Sang Mustafa untuk mengembang tugas membawa risalah Islam dan rahmat kesegenap pelosok dan penjuru dunia. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam Qur’an, Al Ambiya, ayat 170,” Dan tiada kami mengutus kamu melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam.” Dengan kesempurnaan akhlak serta kekuatan jiwa dan karakter yang dimilki, Rasulullah Al-Amin, berhasil mengembang tugasnya sebagai Nabi sekaligus raja di raja dan pemimpin besar, sehingga mendapat gelar oleh Michael H. Hart sebagai tokoh paling berpengaruh dan paling kuat sepanjang masa. Mengatasi kebesaran Nabi Isa, Isaac Newton, Siddhartha Gautama, atau Kong Hu Cu. Semasa beliau, dasar atau fondasi bagi sebuah word state telah dipancangkan, berupa agama yang diridhoi Allah SWT, Islam yang membawa Al Quran dan Sunnah Rasul sebagai obor atau dian yang tak kunjung padam.
Seandainya para khalifah, raja, sultan, presiden, ulil amri, ulama, pemimpin Islam yang datang ba’da wafat beliau mau selalu menteladani dan mengamalkan ajaran-ajaran kepemimpinan dan sunnah Nabi , maka pastilah seluruh bumi dan seisinya telah Islam. Tapi apa lacur, alih-alih, menjadikan dunia seluruhnya Islam dan makmur sejahtera, ummat Islam yang ada malah karam dalam keterpurukan dan kemandegan yang nyaris sempurna dan telak. Dari Marokko sampai Merauke hanya kantong-kantong kemiskinan Islam yang menyata dan menyebar, walau di sana sini ada juga keberlimpahan, tapi itu hanyalah semacam berkah alam yang terberikan secara gratis ; Minyak dan dan sumber daya alam yang kaya dan beragam. Dalam kancah pesaingan internasional yang mengandalkan kreatifitas, sains, dan inovasi kita kalah jauh dengan penganut agama lain, Nasrani, Budha bahkan oleh kaum atheis. Boro-boro mau punya pengaruh ekonomi dan politik, yang ada sebagian besar negara-negara Islam telah diacak-acak oleh bangsa lain dan kompradornya di negara masing-masing. Jadi semua kebesaran, kejayaan dan kemulyaan Islam awal, kini tinggal kenangan yang entah kapan akan mengalami renesan yang sesungguhnya.
Lihat saja di Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI) ini. Partai-partai Islam sebagai refresentasi kekuatan Islam yang seharusnya mengembang misi profetik ke Nabian, yang terdiri dari program humanisasi, liberasi dan transedensi, seperti yang digagas cendekiawan muslim Kuntowijoyo almarhum, sungguh telah mengalami disorientasi dan kegamangan di tengah percaturan politik melawan kekuatan partai-partai nasionalis, sosialis atau sekuler . Bukan saja secara personal kepemimpinan telah mengalami degradasi kepercayaan yang parah, akibat prilaku koruptif sebagian eksponennya, tapi secara ideologi masyarakat juga dibuat bingung karena tiadanya konsisitensi dalam mengusung visi dan misi keislaman yang tegas dan jelas. Sepertinya mereka malu-malu mengusung warna atau karakter Islamnya yang tercermin dari prilaku dan program mereka. Mereka telah gagal menjadi party identification tempat ummat bercermin. Partai-partai Islam bukanlah lagi jalan untuk mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan ummat yang sahih.
Dalam rekruitmen misalnya, itu dilakukan secara asal-asalan dengan tanpa menyeleksi lagi komitmen dan wawasan Islam para kader, serta berpatokan pada wibawa dan charisma. Sehingga ada beberapa partai yang berlabel Islam atau berbasis Islam yang memilikii kader mantan preman, atau artis kacangan tapi banyak uangnya. Tak ada yang salah dengan kader-kader tipe instan tersebut, andainya mereka hanya caleg sepatu, tapi banyak dari mereka menjadi caleg jadi, yang tentu saja akan membawa citra tertentu di mata publik. Dan apa mereka bisa diharap untuk bisa memperjuangkan gagasan atau ide-ide profetik secara all out atau maksimal. Yang banyak terjadi adalah, jika kader-kader model begitu mendapat tekanan atau cobaan, mereka dengan mudahnya lompat pagar dan beralih ke partai lain yang bisa memuaskan hasrat dan kepentingan pribadinya.
Nah, momentum Maulid Nabi bisa dijadikan sebagai titik keberangkatan dan kebangkitan ummat, untuk memulai sebuah sejarah dan lembaran baru muslim yang lebih bermakna dalam segala kiprahnya. Dengan menjadikan Nabi sebagai teladan utama dan guru besar, serta beriman, mencintai dan menjadi pengikut setia Nabi penutup kerasulan, maka kejayaan Islam akan kembali bisa diraih. Apalah artinya andai kita hari ini memulyakan dan merayakan hari kelahiran sang Mustafa, tetapi besok dan seterusnya kita mengabaikan dan menyepelekan hukum dan tuntunan suci yang disampaikan kepeda beliau oleh Allah SWT. Ataupun yang disunnahkan oleh beliau dalam kedudukannya sebagai Nabi utusan Allah. Itu sama saja mengejek Nabi. Jalaluddin Rumi mengatakan,” Dalam ketololanku aku telah mengejekmu ya Muhammad, tapi aku sendirilah yang patut diejek dan mendapat hukuman.”
Mengapa kita tidak mau mengenang, merayakan dan memulyakan Nabi sendiri, padahal banyak orang genius dunia mengaguminya. Salah satunya adalah penyair Jerman yang mendunia, Johann Wolfgang von Gothe yang telah menulis sajak berjudul,” Mahomet Gesang” ( nyanyian Muhammad) yang berisi kekaguman pada perjuangan Rasulullah dalam menyampaikan risalah Islam. Menurut Goethe, seperti yang dikutip Abdul Hadi WM dalam eseinya, “ Rasulullah dimata Goethe dan Iqbal, “ Kemunculan Nabi Muhammad di panggung sejarah kemanusiaan, seperti munculnya sungai besar yang mengalir deras tidak terhalang oleh batu-batu karang besar dan sanggup menyuburkan tanah-tanah yang tandus dan gersang. Arus dan aliran sungai kenabian itu dapat mengalahkan batu-batu karang oleh karena berasal dari langit. Ia bagaikan hujan yang diturunkan ke bumi untuk menyuburkan kembali tanah-tanah yang hampir mati. Demikianlah ajaran Islam itu diturunkan untuk menghidupkan kembali jiwa manusia yang telah mati akibat kejahilannya terhadap kebenaran dan hakekat ajaran tauhid.
Akan tetapi walaupun sekiranya semua manusia tidak mau memulyakan Rasulullah, namun Nabi Muhammad akan tetap menjadi manusia yang paling utama di sisi Allah SWT. Sejatinya beliau mulya bukan karena dimulyakan oleh manusia yang bersedia menjadi penglkutnya, tetapi justru karena dimulyakan oleh Allah sendiri. “ Katakanlah: Jika kamu ( benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” Ali Imran ayat 31.
Di Mandar, dalam kumpulan syair Ditirakkaqna Alang, beberapa baitnya berbunyi ;
Allah, dianna puang nabitta / Allah, iyamo tirakkaq alang / Allah, malaqbang lino daeng / Allah, siola issi didunnia
Allah, puangngi tia Muhammaq / Allah, iyamo tirakkaq alang / Allah, mallaqbang lino daeng / Allah, dunnia di akeraq.