Menjelang Pemilu, menjadi hal lumrah di pinggir-pinggir jalan terpasang bendera-bendera dari berbagai partai yang lolos verifikasi KPU. Menjadi wajar pula terdapat 2 bendera partai, terpasang di satu tempat yang sama, seperti di tiang listrik, atau tiang telephone. Seperti yang ada di jalan depan rumah saya, dua bendera partai berdampingan berjejer rapi.
Terbesit pertanyaan dalam benak saya, apa kenyataanya mereka akur seperti dua bendera itu yang saling berbagi tempat berkibar ditiup angin? Melihat realita yang sudah-sudah sih mereka akur, tapi hanya dalam hal berbagi uang panas, selebihnya ketika mereka tertangkap dan terbukti menjadi tersangka mereka pura-pura tidak kenal satu sama lain.
Wajah mereka menjadi terkenal beberapa waktu, menjadi sorotan media yang begitu gencar meliput perkembangan terbaru dari sebuah kasus korupsi. Satu sosok tenggelam, datang lagi sosok lain yang terlibat sebuah kasus yang sama. Mereka bak artis pendatang baru yang sebenarnya kehadirannya tidak diinginkan masyarakat. Artis-artis ini akan terus ada, seiring dengan masih diterapkannya sistim demokrasi.
Faktor yang paling utama masalah ini, sebenarnya bukan pada orang-orangnya tapi lebih pada sistim yang diterapkan. Negara ini menerapkan sistim yang memberikan peluang yang sangat luas untuk melakukan korupsi. Dilihat dari proses menjadi anggota legislatif saja, sudah terlihat kecacatan sistim ini. Para caleg mengeluarkan dana bermiliar-miliar untuk mendapatkan kursi. Dengan dana yang begitu borosnya, kemungkinan mereka akan mencari cara agar uang mereka bisa kembali, mungkin juga berusaha untuk mendapat untung. Mengingat gaji seorang anggota legislative sebenarnya tidak bisa mengganti biaya kampanye yang telah mereka keluarkan. Lalu darimana uang itu akan kembali?
Terbesit pertanyaan dalam benak saya, apa kenyataanya mereka akur seperti dua bendera itu yang saling berbagi tempat berkibar ditiup angin? Melihat realita yang sudah-sudah sih mereka akur, tapi hanya dalam hal berbagi uang panas, selebihnya ketika mereka tertangkap dan terbukti menjadi tersangka mereka pura-pura tidak kenal satu sama lain.
Wajah mereka menjadi terkenal beberapa waktu, menjadi sorotan media yang begitu gencar meliput perkembangan terbaru dari sebuah kasus korupsi. Satu sosok tenggelam, datang lagi sosok lain yang terlibat sebuah kasus yang sama. Mereka bak artis pendatang baru yang sebenarnya kehadirannya tidak diinginkan masyarakat. Artis-artis ini akan terus ada, seiring dengan masih diterapkannya sistim demokrasi.
Faktor yang paling utama masalah ini, sebenarnya bukan pada orang-orangnya tapi lebih pada sistim yang diterapkan. Negara ini menerapkan sistim yang memberikan peluang yang sangat luas untuk melakukan korupsi. Dilihat dari proses menjadi anggota legislatif saja, sudah terlihat kecacatan sistim ini. Para caleg mengeluarkan dana bermiliar-miliar untuk mendapatkan kursi. Dengan dana yang begitu borosnya, kemungkinan mereka akan mencari cara agar uang mereka bisa kembali, mungkin juga berusaha untuk mendapat untung. Mengingat gaji seorang anggota legislative sebenarnya tidak bisa mengganti biaya kampanye yang telah mereka keluarkan. Lalu darimana uang itu akan kembali?