Letak Kawasan
Taman Wisata Alam Nabire ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 21/Kpts/Um/1/1980 Tanggal 12 Januari 1980 dengan luas 100 Ha. Secara adminitrastif, Taman Wisata Alam Nabire terletak pada Distrik Nabire Kabupaten Nabire Provinsi Papua. Batas wilayah Taman Wisata Alam Nabire adalah Sebelah Utara Teluk Kimi, Sebelah Selatan Tanah Masyarakat, Sebelah Timur Tanah Masyarakat dan Sebelah Barat : Kali Samabusa. Kegiatan Tata Batas telah temu gelang dengan luasan kawasan saat ini menjadi 72,50 hektar pada tahun 1981/1982.
Flora dan Fauna
Flora dalam kawasan bervariasi mulai dari tanaman tingkat pohon seperti Pometia sp dan Intsia sp sampai tanaman hias seperti jenis-jenis anggrek.
Beberapa jenis satwa di dalam kawasan antara lain Trichoglossus haematodus, Paradiseae sp, Probociger atterimus, Phalanger sp, Lorius domicella, Electus roratus dan sebagainya
Wisata Alam
Type ekosistem dalam kawasan terdiri dari ekosistem hutan bakau/rawa, ekosistem dataran rendah dan ekosistem hutan pantai. Ekosistem itu menjadi obyek wisata yang sangat menarik di kawasan ini.
TWA. Nabire merupakan kawasan konservasi yang difungsikan sebagai kawasan rekreasi dan wisata alam. TWA. Nabire memiliki pemandangan yang cukup menarik diantaranya pantai pasir putih dan tumbuhan mangrovenya (Rizhopora apiculata). Masyarakat telah secara swadaya mengembangkan potensi wisata yang ada di wilayah tersebut. Wisata yang telah dikembangkan oleh masyarakat diantaranya meliputi wisata pantai dan wisata air panas air mandidi. Masyarakat telah mengupayakan adanya retribusi kepada wisatawan yang berkisar Rp. 1000,- s/d Rp. 2000,- yang dikelola oleh pemilik adat.
Aksesibilitas
Taman Wisata Alam Nabire, dari luar kota Nabire dapat dicapai melalui jalur udara dan laut. Melalui jalur udara dengan pesawat udara mendarat di Bandar Udara Nabire, dan kemudian menggunakan angkutan darat menuju ke pintu masuk kawasan sekitar 45 menit. Melalui jalur laut dengan kapal laut menuju ke pelabuhan Nabire di Samabusa, kemudian dengan perjalanan selama sekitar 15 menit sampai di pintu masuk kawasan. Dari pusat kota Nabire, dengan kendaraan roda empat dan roda dua selama kurang lebih satu jam.
Potensi Sosial Masyarakat
Sesuai dengan fungsinya TWA Nabire diperuntukkan bagi wisata alam yang didalamnya juga dapat digunakan sebagai wahana pendidikan. Kawasan TWA Nabire yang secara administrative terletak di 2 kelurahan yaitu Kelurahan Air Mandidi dan Kimi mempunyai berbagai karakteristik dan permasalahan sendiri. Secara kepemilikan hak ulayat pemilik tanah kebanyakan berdomisili di Kelurahan Samabusa, sehingga masyarakat Air Mandidi dan Kimi tidak mempunyai hak atas kepemilikan tanah.
Kampung Air Mandidi
Kawasan TWA Nabire secara administratif masuk dalam Kampung Air Mandidi sehingga interaksi langsung terjadi antara masyarakat dengan kawasan konservasi tersebut. Jumlah penduduk Kampung Air Mandidi didominasi oleh masyarakat dari Biak, Serui, Paniai dan Enarotali.
Kampung Samabusa
Kampung Samabusa merupakan salah satu kampung yang berada di luar kawasan konservasi TWA Nabire namun memiliki keterikatan dengan Kawasan Konservasi karena sebagian besar pemilik hak ulayat yang berada di kawasan konservasi tinggal di Kampung Samabusa.
Kampung Kimi
Kampung Kimi terletak bersebelahan dengan Kampung Air Mandidi yang secara administrative juga berada di Distrik Teluk Kimi Kabupeten Nabire.
Sosial Budaya
Pada umumnya Suku Wate yang berada disekitar TWA Nabire masih memelihara sistim kekerabatan dan pola hubungan antar individu dalam masyarakat yang masih sangat erat. Biasanya penduduk yang bertempat tinggal dalm suatu kampung masih memiliki hubungan kekerabatan, secara umum budaya satu kampung dengan kampung lain masih banyak kesamaan. Sistem kekerabatan tersebut yang masih dipegang kuat dan menyolok adalah nama marga merupakan hal yang mendasar. Beberapa marga suku Wate yang mendiami kawasan sekitar TWA Nabire antara lain; Waray, Sayori, Marey, Samsanoy dan Money. Marga yang memiliki keterkaitan langsung dengan kawasan TWA Nabire dan mempunyai hak ulayat atas kawasan TWA Nabire adalah dari marga Waray.
Kebiasaan-kebiasaan lain yang berhubungan dengan upacara-upacara ritual seperti upacara kelahiran, perkawinan, pengukuhan kepala suku atau pelantikan kepala desa dan kematian sudah mulai tidak terlihat secara menyolok. Hal ini disebabkan kampung-kampung sekitarnya sangat berdekatan dengan kota Nabire sehingga pola kehidupan masyarakat kota mulai mengikis nilai-nilai/kebiasaan masyarakat asli yang sebelumnya sering mereka lakukan. Di samping itu masuknya para pendatang baik dari luar Papua seperti; suku Jawa, Buton, Toraja dan Bugis maupun pendatang asal Papua seperti suku Biak, Serui dan Sorong dan Paniai memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap adat istiadat masyarakat setempat. Perkawinan yang terjadi di dalam suku Wate dapat bercorak exogami artinya seorang laki-laki mengambil seorang wanita dari lain suku dan memasukkannya ke dalam suku Wate atau kerabatnya atau seorang laki-laki dari luar suku Wate mengambil seorang wanita dari dalam suku Wate, dan inxogami artinya seorang laki-laki suku Wate mengambil wanita dari suku Wate.
Beberapa bentuk mas kawin yang dikenal sejak dulu oleh Suku Wate adalah :
Kerang-kerangan (bia) yang dalam bahasa setempat disebut mege, yang terdiri dari beberapa jenis tergantung besarnya mege yaitu muto, yao, yodagi, mitaoyatuya. Babi yang banyaknya ditentukan berdasarkan kemampuan pihak laki-laki.
Mengenai warisan erat hubungannya dengan tertib sanak keluargadan bentuk serta macam barang yang diwariskan. Harta warisan dari orang tua yang meninggal diwariskan kepada anak laki-laki. Tetapi bila dalam keluarga tidak terdapat anak laki-laki maka harta warisan tersebut dapat diwariskan kepada anak perempuan. Apabila keluarga tersebut tidak memiliki anak maka warisan jatuh kepada saudara-saudaranya.
Adapun harta warisan dapat berupa manik-namik, kerang-kerangan (mege), tanah adat, busur serta anah panah dan harta pusaka peninggalan nenek moyang
Hak Ulayat
Hak ulayat adalah hak dari persekutuan hukum untuk menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang masih berupa hutan belukardi dalam lingkungan wilayahnya, guna persekutuan hukum tersebut dan anggota-anggotanya. Apa bila orang dari luar persekutuan hukum tersebut memanfaatkannya maka harus dengan izin dan melakukan pembayaran pengakuan rekognisi dan secara langsung atau tidak langsung persekutuan tersebut tetap memiliki pengaruh terhadap tanah-tanah yang terletak dalam lingkungan persekutuan hukum tersebut yang telah diusahakan oleh orang dari luar.
Bagi suku Wate tanah tanah merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka sebab tanah merukan tempat tinggal dan sebagai sumber kehidupan yang paling penting dan utama.
Kesenian
Suku Wate sudah sejak lama melakukan kegiatan yang bersifat seni, adapun seni yang berkembang adalah seni tari dan seni ukir.
Seni tari dilakukan pada upacara-upacara tertentu, misalnya pada pesta babi (yowo) yaitu suatu pesta pertemuan antara orang-orang dari suku lain yang datang dari luar daerah. Dalam pesta ini terjadi tukar menukar barang di antara mereka (barter)
Tarian yang terkenal pada Suku Wate yaitu tari yosim yang dapat dilakukan oleh kaum tua dan muda. Juga terdapat tari bitehai yaitu suatu tarian yang menyatakan kemenangan biasanya dilakukan pada perayaan hari-hari kebesaran nasional seperti hari kemerdekaan, hari sumpah pemuda dan lain-lain.
Tarian lain yang juga dikenal dalam masyarakat ini adalah tarian yame yetawa yaitu suatu tarian yang dibawakan pada waktu diadakannya pesta tukar cincin atau pada pesta perkawinan. Dalam pesta ini masyarakat Wate juga menyanyikan lagi tradisional mereka seperti ugaa, komauga, dan gawai. Nyanyian ini dilantunkan berupa pantun-pantun yang memiliki arti dan makna tersendiri.
Seni ukir yang berkembang pada Suku Wate adalah ukiran pada busur dan anak panah, gagang kapak batu, perahu, dan koteka. Selain itu mereka juga membuat alat musik yang terbuat dari bambu yang mirip dengan harmonika. Seni ukir dalam masyarakat suku Wate selain bernilai estetika juga berdaya magis tinggi oleh karena itu tidak semua masyarakat suku Wate dapat melakukan ukiran dengan baik dan benar hanya orang tertentu saja yang dapt melakukannya.
Tempat Sakral dan Pengetahuan Metafisika
Kehidupan antropologis Suku Wate dapat tercermin dari adanya tempat-tempat sakral dan pengetahuan metafisika masyarakat dalam kehidupan mereka. Di dalam kawasan terdapat beberapa tempat yang memiliki kepentingan spiritual dan dianggap sakral oleh masyarakat tradisional. Secara historis, tempat-tempat tersebut memiliki kenampakan yang sangat berarti bagi masyarakat tradisional, atau berhubungan dengan cerita/mitos adat/suku, atau kejadian luar biasa dimasa lalu yang tidak dapat diceritakan kembali, atau lokasi khusus tempat asal-usul arwah nenek moyang mereka. Lokasi tempat sakral tersebut umumnya bersifat rahasia, terlarang (pemali) yang terkadang cukup berbahaya, baik bagi masyarakat tradisional maupun non tradisional. Tempat-tempat sakral tersebut dapat berupa suatu bidang yang luas dalam suatu dusun, kawasan hutan tertentu, sumber air atau pohon-pohon tertentu.
Suku Wate memiliki mitologi adat yang berakar di daerah Paniai. Mereka percaya bahwa nenek moyang Suku ini berasal dari Danau Paniai yang kemudian mengembara ke wilayah Napan sampai nenek moyang mereka meninggal di daerah ini oleh karena itu Suku Wate mengganggap Napan merupakan wilayah sakralnya.Pengetahuan metafisik masyarakat tradisional merupakan pengetahuan terhadap adanya gejala-gejala alam yang dipergunakan untuk menentukan atau memulai suatu kegiatan, seperti misalnya waktu berburu dan bercocok tanam.
Kegiatan Pengelolaan
Kegiatan identifikasi masyarakat adat oleh Balai Besar KSDA Papua Tahun 2008
Kegiatan survey kondisi permasalahan oleh Balai Besar KSDA Papua Tahun 2008
Kegiatan pengamanan kawasan oleh Bidang KSDA Wilayah II
Identifikasi Objek Daya Tarik Wisata Alam oleh Balai Besar KSDA Papua Tahun 2012
http://bbksdapapua.dephut.go.id/?page_id=54
Taman Wisata Alam Nabire ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 21/Kpts/Um/1/1980 Tanggal 12 Januari 1980 dengan luas 100 Ha. Secara adminitrastif, Taman Wisata Alam Nabire terletak pada Distrik Nabire Kabupaten Nabire Provinsi Papua. Batas wilayah Taman Wisata Alam Nabire adalah Sebelah Utara Teluk Kimi, Sebelah Selatan Tanah Masyarakat, Sebelah Timur Tanah Masyarakat dan Sebelah Barat : Kali Samabusa. Kegiatan Tata Batas telah temu gelang dengan luasan kawasan saat ini menjadi 72,50 hektar pada tahun 1981/1982.
Flora dan Fauna
Flora dalam kawasan bervariasi mulai dari tanaman tingkat pohon seperti Pometia sp dan Intsia sp sampai tanaman hias seperti jenis-jenis anggrek.
Beberapa jenis satwa di dalam kawasan antara lain Trichoglossus haematodus, Paradiseae sp, Probociger atterimus, Phalanger sp, Lorius domicella, Electus roratus dan sebagainya
Wisata Alam
Type ekosistem dalam kawasan terdiri dari ekosistem hutan bakau/rawa, ekosistem dataran rendah dan ekosistem hutan pantai. Ekosistem itu menjadi obyek wisata yang sangat menarik di kawasan ini.
TWA. Nabire merupakan kawasan konservasi yang difungsikan sebagai kawasan rekreasi dan wisata alam. TWA. Nabire memiliki pemandangan yang cukup menarik diantaranya pantai pasir putih dan tumbuhan mangrovenya (Rizhopora apiculata). Masyarakat telah secara swadaya mengembangkan potensi wisata yang ada di wilayah tersebut. Wisata yang telah dikembangkan oleh masyarakat diantaranya meliputi wisata pantai dan wisata air panas air mandidi. Masyarakat telah mengupayakan adanya retribusi kepada wisatawan yang berkisar Rp. 1000,- s/d Rp. 2000,- yang dikelola oleh pemilik adat.
Aksesibilitas
Taman Wisata Alam Nabire, dari luar kota Nabire dapat dicapai melalui jalur udara dan laut. Melalui jalur udara dengan pesawat udara mendarat di Bandar Udara Nabire, dan kemudian menggunakan angkutan darat menuju ke pintu masuk kawasan sekitar 45 menit. Melalui jalur laut dengan kapal laut menuju ke pelabuhan Nabire di Samabusa, kemudian dengan perjalanan selama sekitar 15 menit sampai di pintu masuk kawasan. Dari pusat kota Nabire, dengan kendaraan roda empat dan roda dua selama kurang lebih satu jam.
Potensi Sosial Masyarakat
Sesuai dengan fungsinya TWA Nabire diperuntukkan bagi wisata alam yang didalamnya juga dapat digunakan sebagai wahana pendidikan. Kawasan TWA Nabire yang secara administrative terletak di 2 kelurahan yaitu Kelurahan Air Mandidi dan Kimi mempunyai berbagai karakteristik dan permasalahan sendiri. Secara kepemilikan hak ulayat pemilik tanah kebanyakan berdomisili di Kelurahan Samabusa, sehingga masyarakat Air Mandidi dan Kimi tidak mempunyai hak atas kepemilikan tanah.
Kampung Air Mandidi
Kawasan TWA Nabire secara administratif masuk dalam Kampung Air Mandidi sehingga interaksi langsung terjadi antara masyarakat dengan kawasan konservasi tersebut. Jumlah penduduk Kampung Air Mandidi didominasi oleh masyarakat dari Biak, Serui, Paniai dan Enarotali.
Kampung Samabusa
Kampung Samabusa merupakan salah satu kampung yang berada di luar kawasan konservasi TWA Nabire namun memiliki keterikatan dengan Kawasan Konservasi karena sebagian besar pemilik hak ulayat yang berada di kawasan konservasi tinggal di Kampung Samabusa.
Kampung Kimi
Kampung Kimi terletak bersebelahan dengan Kampung Air Mandidi yang secara administrative juga berada di Distrik Teluk Kimi Kabupeten Nabire.
Sosial Budaya
Pada umumnya Suku Wate yang berada disekitar TWA Nabire masih memelihara sistim kekerabatan dan pola hubungan antar individu dalam masyarakat yang masih sangat erat. Biasanya penduduk yang bertempat tinggal dalm suatu kampung masih memiliki hubungan kekerabatan, secara umum budaya satu kampung dengan kampung lain masih banyak kesamaan. Sistem kekerabatan tersebut yang masih dipegang kuat dan menyolok adalah nama marga merupakan hal yang mendasar. Beberapa marga suku Wate yang mendiami kawasan sekitar TWA Nabire antara lain; Waray, Sayori, Marey, Samsanoy dan Money. Marga yang memiliki keterkaitan langsung dengan kawasan TWA Nabire dan mempunyai hak ulayat atas kawasan TWA Nabire adalah dari marga Waray.
Kebiasaan-kebiasaan lain yang berhubungan dengan upacara-upacara ritual seperti upacara kelahiran, perkawinan, pengukuhan kepala suku atau pelantikan kepala desa dan kematian sudah mulai tidak terlihat secara menyolok. Hal ini disebabkan kampung-kampung sekitarnya sangat berdekatan dengan kota Nabire sehingga pola kehidupan masyarakat kota mulai mengikis nilai-nilai/kebiasaan masyarakat asli yang sebelumnya sering mereka lakukan. Di samping itu masuknya para pendatang baik dari luar Papua seperti; suku Jawa, Buton, Toraja dan Bugis maupun pendatang asal Papua seperti suku Biak, Serui dan Sorong dan Paniai memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap adat istiadat masyarakat setempat. Perkawinan yang terjadi di dalam suku Wate dapat bercorak exogami artinya seorang laki-laki mengambil seorang wanita dari lain suku dan memasukkannya ke dalam suku Wate atau kerabatnya atau seorang laki-laki dari luar suku Wate mengambil seorang wanita dari dalam suku Wate, dan inxogami artinya seorang laki-laki suku Wate mengambil wanita dari suku Wate.
Beberapa bentuk mas kawin yang dikenal sejak dulu oleh Suku Wate adalah :
Kerang-kerangan (bia) yang dalam bahasa setempat disebut mege, yang terdiri dari beberapa jenis tergantung besarnya mege yaitu muto, yao, yodagi, mitaoyatuya. Babi yang banyaknya ditentukan berdasarkan kemampuan pihak laki-laki.
Mengenai warisan erat hubungannya dengan tertib sanak keluargadan bentuk serta macam barang yang diwariskan. Harta warisan dari orang tua yang meninggal diwariskan kepada anak laki-laki. Tetapi bila dalam keluarga tidak terdapat anak laki-laki maka harta warisan tersebut dapat diwariskan kepada anak perempuan. Apabila keluarga tersebut tidak memiliki anak maka warisan jatuh kepada saudara-saudaranya.
Adapun harta warisan dapat berupa manik-namik, kerang-kerangan (mege), tanah adat, busur serta anah panah dan harta pusaka peninggalan nenek moyang
Hak Ulayat
Hak ulayat adalah hak dari persekutuan hukum untuk menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang masih berupa hutan belukardi dalam lingkungan wilayahnya, guna persekutuan hukum tersebut dan anggota-anggotanya. Apa bila orang dari luar persekutuan hukum tersebut memanfaatkannya maka harus dengan izin dan melakukan pembayaran pengakuan rekognisi dan secara langsung atau tidak langsung persekutuan tersebut tetap memiliki pengaruh terhadap tanah-tanah yang terletak dalam lingkungan persekutuan hukum tersebut yang telah diusahakan oleh orang dari luar.
Bagi suku Wate tanah tanah merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka sebab tanah merukan tempat tinggal dan sebagai sumber kehidupan yang paling penting dan utama.
Kesenian
Suku Wate sudah sejak lama melakukan kegiatan yang bersifat seni, adapun seni yang berkembang adalah seni tari dan seni ukir.
Seni tari dilakukan pada upacara-upacara tertentu, misalnya pada pesta babi (yowo) yaitu suatu pesta pertemuan antara orang-orang dari suku lain yang datang dari luar daerah. Dalam pesta ini terjadi tukar menukar barang di antara mereka (barter)
Tarian yang terkenal pada Suku Wate yaitu tari yosim yang dapat dilakukan oleh kaum tua dan muda. Juga terdapat tari bitehai yaitu suatu tarian yang menyatakan kemenangan biasanya dilakukan pada perayaan hari-hari kebesaran nasional seperti hari kemerdekaan, hari sumpah pemuda dan lain-lain.
Tarian lain yang juga dikenal dalam masyarakat ini adalah tarian yame yetawa yaitu suatu tarian yang dibawakan pada waktu diadakannya pesta tukar cincin atau pada pesta perkawinan. Dalam pesta ini masyarakat Wate juga menyanyikan lagi tradisional mereka seperti ugaa, komauga, dan gawai. Nyanyian ini dilantunkan berupa pantun-pantun yang memiliki arti dan makna tersendiri.
Seni ukir yang berkembang pada Suku Wate adalah ukiran pada busur dan anak panah, gagang kapak batu, perahu, dan koteka. Selain itu mereka juga membuat alat musik yang terbuat dari bambu yang mirip dengan harmonika. Seni ukir dalam masyarakat suku Wate selain bernilai estetika juga berdaya magis tinggi oleh karena itu tidak semua masyarakat suku Wate dapat melakukan ukiran dengan baik dan benar hanya orang tertentu saja yang dapt melakukannya.
Tempat Sakral dan Pengetahuan Metafisika
Kehidupan antropologis Suku Wate dapat tercermin dari adanya tempat-tempat sakral dan pengetahuan metafisika masyarakat dalam kehidupan mereka. Di dalam kawasan terdapat beberapa tempat yang memiliki kepentingan spiritual dan dianggap sakral oleh masyarakat tradisional. Secara historis, tempat-tempat tersebut memiliki kenampakan yang sangat berarti bagi masyarakat tradisional, atau berhubungan dengan cerita/mitos adat/suku, atau kejadian luar biasa dimasa lalu yang tidak dapat diceritakan kembali, atau lokasi khusus tempat asal-usul arwah nenek moyang mereka. Lokasi tempat sakral tersebut umumnya bersifat rahasia, terlarang (pemali) yang terkadang cukup berbahaya, baik bagi masyarakat tradisional maupun non tradisional. Tempat-tempat sakral tersebut dapat berupa suatu bidang yang luas dalam suatu dusun, kawasan hutan tertentu, sumber air atau pohon-pohon tertentu.
Suku Wate memiliki mitologi adat yang berakar di daerah Paniai. Mereka percaya bahwa nenek moyang Suku ini berasal dari Danau Paniai yang kemudian mengembara ke wilayah Napan sampai nenek moyang mereka meninggal di daerah ini oleh karena itu Suku Wate mengganggap Napan merupakan wilayah sakralnya.Pengetahuan metafisik masyarakat tradisional merupakan pengetahuan terhadap adanya gejala-gejala alam yang dipergunakan untuk menentukan atau memulai suatu kegiatan, seperti misalnya waktu berburu dan bercocok tanam.
Kegiatan Pengelolaan
Kegiatan identifikasi masyarakat adat oleh Balai Besar KSDA Papua Tahun 2008
Kegiatan survey kondisi permasalahan oleh Balai Besar KSDA Papua Tahun 2008
Kegiatan pengamanan kawasan oleh Bidang KSDA Wilayah II
Identifikasi Objek Daya Tarik Wisata Alam oleh Balai Besar KSDA Papua Tahun 2012
http://bbksdapapua.dephut.go.id/?page_id=54