Selain mulai berani terbuka, jumlah lelaki penyuka sesama jenis (homo/gay) di Surabaya terus berkembang. Saat ini komunitas ini sekitar 12 ribu. Lalu, mengapa mereka memilih sebagai gay? Apa lebih nikmat ketimbang menjadi laki-laki tulen? Berikut laporan wartawan Surabaya Pagi.
Rafael, ketua Gaya Nusantara membenarkan bahwa anggota organisasi yang dipimpinnya mengalami peningkatan. Hanya saja, mengenai jumlah pastinya, dia mengaku tidak tahu persis. Namun, Rafael memperkirakan anggota gay di Surabaya sekitar 12 ribuan. Namun, dari angka itu yang mendapatkan pelayanan berupa informasi dari Gaya Nusantara hanya sekitar 6 ribuan anggota.
Meski begitu, Rafael sadar jika keberadaan mereka ditentang oleh sejumlah pihak. Karena itu, pasangan gay hanya sedikit yang tinggal serumah. Karena itu, mereka mencari tempat berkumpul sesama gay, seperti di Pattaya, Bungkul dan sebagainya.
Namun pihaknya tak mau ambil pusing dengan pihak-pihak yang menentang keberadaan gay. "Itu hak mereka untuk menentang aktifitas kita, menurut saya itu sah-sah saja," tandas dia. "Yang penting kita tidak merugikan orang lain," imbuhnya.
Gay, menurut Rafael lebih karena persoalan genetik, kalaupun ada faktor lingkungan pengaruhnya sangat kecil. Faktor lingkungan hanya sebagai pemicu, sebab biasanya mereka sudah punya bawaan gay. "Ini bukan keinginan kita, ini takdir yang mesti dijalani," cetus dia.
Yanto (bukan nama sebenarnya), salah seorang gay mengatakan menjadi seorang gay pilihan hidup mereka. Alasannya, kebanyakan mereka justru menemukan kasih sayang yang sejati dari sesama pria daripada kasih sayang dari lawan jenis. "Seorang gay, aslinya masih punya keinginan untuk membina keluarga dengan lawan jenis. Namun pada akhirnya mereka malah melupakan keinginan itu karena banyak masyarakat yang menjauhi kami," tutur Yanto yang ditemui Surabaya Pagi saat nongkrong di Pataya, tadi malam.
Menurut dia, komunitas gay tak ubahnya kaum waria yang biasa nongkrong di Kembang kuning atau jalan Irian Barat. Jika seorang gay menemukan kasih sayang dengan sesama jenis, maka para waria menemukan kasih sayangnya dengan cara mengubah dandanan aslinya. Yakni, laki-laki yang ingin menjadi perempuan.
Bahkan, dalam soal kepuasan seksual, antara komunitas gay dan waria punya perbedaan. Kata Yanto, para waria mematok tarif Rp 10-20 ribu per blow job (oral seks). Sedangkan para gay tergantung dari pasangannya. Tergantung dari siapa yang benar-benar paling sayang, maka itu yang paling banyak mengeluarkan uang. "Biasanya kalau pasangannya baik hati, kadang-kadang apapun ditukokno (dibelikan)," tutur dia.
Yanto berharap agar masyarakat tidak menganggap dirinya kotor sekalipun hina, karena gay juga manusia. Selain itu juga gay maupun waria adalah pilihan hidup mereka.
SUMBER
Cari Pasangan di Pataya, "Main"nya di Hotel atau Kos-kosan
Di Surabaya, lelaki penyuka sesama jenis (kaum homo/gay) sudah berani terang-terangan. Mereka membentuk komunitas dan memiliki tempat-tempat khusus untuk mengadakan pertemuan. Mulai di bantaran Kali Mas depan Monkasel Jl Pemuda, belakang Surabaya Plaza Jl Boulevard hingga Taman Bungkul. Lalu, benarkah mereka ini juga melakukan transaksi seksual dengan imbalan rupiah? Atau mereka hanya sekedar have fun? Berikut ini laporan wartawan Surabaya Pagi.
Bagi kaum gay, tentu tak asing lagi dengan nama Pataya, tempat komunitas gay di Surabaya. Namun, bagi warga biasa, mungkin akan bingung. Sebab, Surabaya tak pernah memiliki daerah Pataya. Yang dikenal, Pataya adalah nama pantai di Thailand. Ternyata, Pataya hanya sebutan bagi tempat berkumpulnya komunitas homo. Tepatnya, di depan Monumen Kapal Selam (Monkasel) Jl Pemuda.
Tadi malam sekitar pukul 20.30 WIB, sudah ada sejumlah homo nongkrong di sana. Aktivitas mereka macam-macam. Ada dua pria tampak seperti orang berpacaran layaknya sepasang muda-mudi. Keduanya asik memegang tangan serta menciumi pipi pasangannya. Lampu penerangan yang kurang cukup mendukung pasangan pria ini bermesraan di pinggiran sungai.
Penjual kopi di Keputran, yang lokasinya dekat gang Pataya, mengaku sudah tak heran lagi melihat lelaki dengan lelaki bermesraan di sana. "Pacaran mereka itu ya di situ (Pataya, red)," cetus dia.
Memang, saat mereka berkumpul, diantara mereka acap kali menampilkan gaya-gaya khas yang biasa dilakukan oleh kaum hawa alias lembeng. Sementara bagi mereka yang berperan menjadi lelakinya, selalu menampakkan wajah yang sedikit maco dan cool. "Tidak semua yang ke situ punya pacar. Ada juga yang cari pasangan baru. Ya, kayak orang normal, tapi caranya yang aneh. Mosok jeruk mangan jeruk," ujarnya sambil tertawa.
Kondisi demikian menjadikan Pataya tak ubahnya seperti lokalisasi pekerja seks komersial (PSK), seperti di kawasan Kembang Kuning atau tempat mangkal waria di jalan Irian Barat (Irba). Bedanya, Pataya dipenuhi pria-pria yang lemah gemulai. Begitu mendapatkan pasangan di Pataya, mereka biasanya berlanjut ke hotel atau kos-kosan untuk melakukan hubungan intim layaknya suami istri.
"Bagaimana pun hubungan intim seperti yang kami lakukan ini kan masih ditentang masyarakat. Jadi mending ke tempat lain aja. Di sini (Pataya, red) hanya tempat nongkrong atau ketemuan. Kalau mau gituan (hubungan intim, red), ya mending check in di hotel," aku Rudy, bukan nama sebenarnya.
Sebagai Gay yang cukup taat pada agama, ane gak akan liwath (anals*ks) gan. secara yg diharamkan itu kan aktivitas liwath tsb sedangkan rasa mencintai adalah sesuatu yg given dan dibolehkan.
benar, Gay sangat banyak, riset menyatakan 1 dari 10 pria di dunia terlahir dengan orientasi homoseks. suka atau tidak suka pria2 gay ada disekitar kita namun mereka belum berani menyatakan jatidiri orientasi sebenarnya.