Informasi menyedihkan saya terima siang ini dari WNI yang menemukan banyak tabung reklame neon tentang "penjualan PRT Jawa" di Bukit Timah Plaza Singapore. Tidak saja info yang diiklankan dan cv masing-masing TKW yang ditempel di kaca, tetapi para TKW ini diberi seragam dan diminta duduk berjajar layaknya barang dagangan dipajang untuk dipilih para pembeli.
Iklan juga memuat sistem "pembelian" TKW Jawa ini dengan cara tidak memberi gaji selama 6 (enam) bulan. Ini menyedihkan, karena di UEA (Uni Emirat Arab) sendiri pemerintahnya melarang potongan gaji 3 (tiga) bulan sekalipun. Celakanya, cara "menjual" TKW Jawa yang demikian ini dilakukan oleh banyak agensi di mall-mall seantero Singapura.
Lebih tragis dari Malaysia dan Yordania yang iklannya berupa selebaran sembunyi-sembunyi (direct selling), cara "penjualan" di mall Singapura ini nyaris mendekati "penjualan" budak di zaman pertengahan. Bedanya adalah adanya unsur sukarela dari TKW dan ada keterlibatan (kelalaian) negara (pengirim maupun penerima) di dalamnya.
Ketika semua negara sepakat menghapus perbudakan, toh praktek komoditisasi manusia berlanjut dengan kemasan lebih modern (mall). Bagaimana sistem hukum di dua negara yang pasti anti perbudakan rawan dibobol? Di tanah air sendiri, bagaimana TKW-TKW ini diberangkatkan tanpa job order? Bagaimana pengawasan Menakertrans atas agenda-agenda domestik yang berkongkalikong dengan agen-agen di Singapura? Bagaimana imigrasi meloloskan para TKW ini ke luar negeri tanpa syarat-syarat sebagai TKW? Bagaimana KBRI di Singapura tidak menemukan/terganggu dengan iklan tersebut?
Atas hal di atas, DPR menuntut Kemenlu untuk memprotes praktek perbudakan/penjualan pembantu Jawa kepada Pemerintah Singapura. Di saat yang sama, Presiden harus mengevaluasi penanggung jawab utama, yaitu Menakertrans dan BNP2TKI atas timbulnya fenomena "penjualan" TKI di Malaysia, Singapura, Yordania, dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi di negara-negara penerima TKI lainnya.
Bagi DPR sendiri, ini tantangan memalukan karena penyerahan kepengurusan TKI ke swasta sebagaimana di UU 39/2004 ternyata justru berdampak timbulnya praktek perbudakan WNI. Artinya, tanggung jawab tentang hal ini harus dikembalikan ke negara. Aneh kalau kelak Pansus revisi UU 39/2004 ttg PPTKILN tidak mengubah paradigma dan orientasi dalam UU ini (5/11/12, EKS anggota Pansus Revisi UU PPTKILN).
Oleh: Eva Kusuma Sundari (No Anggota A-386, Fraksi PDIP, Komisi III, dan Daerah Pemilihan Jawa Timur VI)
Sumber :
Iklan juga memuat sistem "pembelian" TKW Jawa ini dengan cara tidak memberi gaji selama 6 (enam) bulan. Ini menyedihkan, karena di UEA (Uni Emirat Arab) sendiri pemerintahnya melarang potongan gaji 3 (tiga) bulan sekalipun. Celakanya, cara "menjual" TKW Jawa yang demikian ini dilakukan oleh banyak agensi di mall-mall seantero Singapura.
Lebih tragis dari Malaysia dan Yordania yang iklannya berupa selebaran sembunyi-sembunyi (direct selling), cara "penjualan" di mall Singapura ini nyaris mendekati "penjualan" budak di zaman pertengahan. Bedanya adalah adanya unsur sukarela dari TKW dan ada keterlibatan (kelalaian) negara (pengirim maupun penerima) di dalamnya.
Ketika semua negara sepakat menghapus perbudakan, toh praktek komoditisasi manusia berlanjut dengan kemasan lebih modern (mall). Bagaimana sistem hukum di dua negara yang pasti anti perbudakan rawan dibobol? Di tanah air sendiri, bagaimana TKW-TKW ini diberangkatkan tanpa job order? Bagaimana pengawasan Menakertrans atas agenda-agenda domestik yang berkongkalikong dengan agen-agen di Singapura? Bagaimana imigrasi meloloskan para TKW ini ke luar negeri tanpa syarat-syarat sebagai TKW? Bagaimana KBRI di Singapura tidak menemukan/terganggu dengan iklan tersebut?
Atas hal di atas, DPR menuntut Kemenlu untuk memprotes praktek perbudakan/penjualan pembantu Jawa kepada Pemerintah Singapura. Di saat yang sama, Presiden harus mengevaluasi penanggung jawab utama, yaitu Menakertrans dan BNP2TKI atas timbulnya fenomena "penjualan" TKI di Malaysia, Singapura, Yordania, dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi di negara-negara penerima TKI lainnya.
Bagi DPR sendiri, ini tantangan memalukan karena penyerahan kepengurusan TKI ke swasta sebagaimana di UU 39/2004 ternyata justru berdampak timbulnya praktek perbudakan WNI. Artinya, tanggung jawab tentang hal ini harus dikembalikan ke negara. Aneh kalau kelak Pansus revisi UU 39/2004 ttg PPTKILN tidak mengubah paradigma dan orientasi dalam UU ini (5/11/12, EKS anggota Pansus Revisi UU PPTKILN).
Oleh: Eva Kusuma Sundari (No Anggota A-386, Fraksi PDIP, Komisi III, dan Daerah Pemilihan Jawa Timur VI)
Sumber :
- Code:
parlemen.net/site/ldetails.php?guid=2e7e4fe67d6790c3558c52f1808322db&docid=fpdpr
No Comment.