Indeks
Yuswatiningsih, 56 tahun, guru SMAN 6 Surabaya mengaku sebagai cucu dan ahli waris Dr. Soetomo, pahlawan nasional pendiri organisasi pergerakan bumiputra pertama Boedi Utomo pada 1908.
Yuswatiningsih mengatakan, dia adalah anak dari Istaningsih (76), anak Dr. Soetomo dari hasil pernikahannya dengan Musri, gadis asal desa Bareng, Jombang tahun 1935.
“Selama ini diketahui eyang saya Dr. Soetomo hanya menikah sekali dengan Everdina Bruring, seorang Belanda dan tidak memiliki anak. Yang tidak diketahui adalah Dr.Soetomo menikah lagi dengan Musri dan memiliki anak Istaningsih, ibunda saya,” kata Yuswatiningsih, Senin (20/5/2013.
Menurutnya, saat Dr. Soetomo meninggal dunia tahun 1937, Istaningsih baru berusia 13 bulan.
“Istaningsih, ibu saya sampai sekarang masih hidup dan tinggal di Jetis Kulon. Dari beliaulah cerita keluarga saya tersampaikan. Bahwa sayalah cucu dan satu-satunya keturunan Dr. Soetomo,” kata Yuswatiningsih di makam Dr. Soetomo Jalan Bubutan Surabaya.
Menurutnya, selama beberapa tahun dia berusaha membuktikan klaimnya sebagai ahli waris Dr. Soetomo pada pemerintah. Diantaranya lewat Pengadilan Negeri Surabaya pada tahun 2008, tapi kandas.
“Pengadilan mensyaratkan bukti tertulis seperti akte kelahiran atau bukti nikah, tetapi dokumen itu hilang saat agresi militer Belanda tahun 1948. Padahal kami memiliki kesaksian bahwa Dr. Soetomo pernah menikah dengan eyang Murti,” jelas Yuswatiningsih.
Karena itu dia meminta dilakukan tes DNA agar klaimnya sebagai cucu Dr. Soetomo tidak dianggap mengarang.
Dr. Soetomo lahir di Nganjuk 30 Juli 1888 dan meninggal di Surabaya pada 30 Mei 1938. Oleh pemerintah dia ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Kiprahnya menderikan organisasi bumiputra Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, dianggap sebagai motor terjadinya pergerakan nasional pertama di Indonesia. Lahirnya Boedi Oetomo juga ditetapkan sebagai hari kebangkitan nasional. (ran/edy)
Yuswatiningsih mengatakan, dia adalah anak dari Istaningsih (76), anak Dr. Soetomo dari hasil pernikahannya dengan Musri, gadis asal desa Bareng, Jombang tahun 1935.
“Selama ini diketahui eyang saya Dr. Soetomo hanya menikah sekali dengan Everdina Bruring, seorang Belanda dan tidak memiliki anak. Yang tidak diketahui adalah Dr.Soetomo menikah lagi dengan Musri dan memiliki anak Istaningsih, ibunda saya,” kata Yuswatiningsih, Senin (20/5/2013.
Menurutnya, saat Dr. Soetomo meninggal dunia tahun 1937, Istaningsih baru berusia 13 bulan.
“Istaningsih, ibu saya sampai sekarang masih hidup dan tinggal di Jetis Kulon. Dari beliaulah cerita keluarga saya tersampaikan. Bahwa sayalah cucu dan satu-satunya keturunan Dr. Soetomo,” kata Yuswatiningsih di makam Dr. Soetomo Jalan Bubutan Surabaya.
Menurutnya, selama beberapa tahun dia berusaha membuktikan klaimnya sebagai ahli waris Dr. Soetomo pada pemerintah. Diantaranya lewat Pengadilan Negeri Surabaya pada tahun 2008, tapi kandas.
“Pengadilan mensyaratkan bukti tertulis seperti akte kelahiran atau bukti nikah, tetapi dokumen itu hilang saat agresi militer Belanda tahun 1948. Padahal kami memiliki kesaksian bahwa Dr. Soetomo pernah menikah dengan eyang Murti,” jelas Yuswatiningsih.
Karena itu dia meminta dilakukan tes DNA agar klaimnya sebagai cucu Dr. Soetomo tidak dianggap mengarang.
Dr. Soetomo lahir di Nganjuk 30 Juli 1888 dan meninggal di Surabaya pada 30 Mei 1938. Oleh pemerintah dia ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Kiprahnya menderikan organisasi bumiputra Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, dianggap sebagai motor terjadinya pergerakan nasional pertama di Indonesia. Lahirnya Boedi Oetomo juga ditetapkan sebagai hari kebangkitan nasional. (ran/edy)
