New York : Suara itu bergetar saat bertutur tentang sebuah masa lalu kelam. Shandra Woworuntu, nama perempuan yang suaranya berada di ujung telepon. Dia bercerita tentang pengalamannya yang mengerikan, saat menjadi korban sindikat perdagangan manusia di New York pada 2001.
"Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita," kata dia kepada VOA Indonesia, seperti dikutip Liputan6.com, Senin (3/12/2014).
Siapa yang tak ingin bekerja di Negeri Paman Sam, meraup dolar untuk mendapat penghidupan yang lebih baik. Itu juga yang dirasakan Shandra saat melihat kesempatan terbuka lewat iklan pekerjaan di sejumlah media di Tanah Air.
Apalagi, saat itu, ia sedang menganggur setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai analis keuangan di sebuah bank -- dampak dari krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan 1998.
Shandra melihat iklan sebuah agensi yang menawarkan pekerjaan di Amerika Serikat, Jepang dan beberapa negara lain. Setelah menjalani sejumlah tes dan wawancara, ia diminta menyiapkan modal Rp 30 juta untuk biaya administrasi, tiket, dan lainnya.
"Saya senang sekali karena kalau Rp 30 juta sudah termasuk tiket berarti tidak terlalu mahal kan?" ujarnya.
Dengan bermodal dokumen-dokumen resmi tentang calon tempat kerjanya, sebuah hotel di Chicago, Shandra memperoleh visa AS -- yang punya reputasi tak mudah didapat. Terjebak
Namun, setelah menjejakkan kaki di AS, awal Juni 2001, kenyataan tak seindah janji. Pihak agensi yang menjemputnya di Bandara John F Kennedy di New York mengatakan, Shandra dan teman-teman tak bisa langsung ke Chicago. Harus menginap di kota berjuluk 'Big Apple' itu.
"Di situlah saya dipindah tangankan, dari satu tempat ke tempat lain. Saya tidak bekerja di hotel, tetapi justru disekap. Dari satu orang ke orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang tidak diinginkan," kata Shandra.
Manhattan, Chinatown, Queens, Brooklyn, Bay Side, New London dan Foxwoods -- semuanya di New York. Itu nama-nama lokasi operasi sindikat perdagangan manusia yang diingat Shandra.
Tak hanya dalam ingatan, Shandra mencatat semua alamat lengkap dalam buku hariannya. Kelak, catatan itu membantu kerja aparat AS menggulung sindikat jahat itu.
Bagai keluar dari mulut singa masuk mulut buaya, Shandra yang berhasil melompat dari jendela sebuah hotel justru terjebak sindikat lain. Yang pemimpinnya justru orang Indonesia. Shandra kabur lagi.
"Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI) tetapi mereka juga tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam stasiun kereta api bawah tanah dan di taman-taman, hingga suatu saat ada yang tolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani," kata dia.
Berbekal keterangan Shandra dan data dari buku hariannya, FBI menggulung sindikat perdagangan manusia di New York. Tiga kepala sindikat - termasuk seorang warga Indonesia, ditangkap. Puluhan korban dibebaskan. Janji Shandra pada korban lain saat ia kabur, ditunaikan. Melawan
Shandra adalah penyintas ( survivor). Dan berkat keberaniannya, puluhan korban lain diselamatkan.
Perempuan tegar itu juga menolak diam, ia terus melawan. Pada 27 Januari 2014, Shandra bersama beberapa korban sindikat perdagangan manusia bicara di sidang dengar pendapat Senat Amerika.
Senator fraksi Partai Republik dari negara bagian Florida, Marco Rubio, memuji upaya dan keberanian Shandra dalam menyuarakan perlunya aturan yang lebih tegas bagi para kontraktor tenaga kerja dari luar Amerika, sebagaimana digariskan dalam "Comprehensive Immigration Reform Plan" atau Rencana Reformasi Imigrasi Komprehensif.
Shandra, yang kini menetap di New York bersama dua orang anaknya dan membuka usaha katering kecil-kecilan. Berharap bisa bekerja sama dengan badan-badan penggiat isu perempuan di Indonesia untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban.
Ia bersedia memberi informasi kepada mereka yang ingin bekerja di Amerika dengan cara legal dan mendampingi mereka yang menjadi korban. " Voice of Hope", salah satu unit lembaga "Safe Horizon" yang dipimpinnya, selama ini berupaya memberdayakan, mendidik dan menjangkau korban sindikat perdagangan manusia yang bertahan.
Shandra juga telah bekerja sama dengan beberapa badan lain di Amerika yang berjuang mendorong lolosnya aturan yang lebih tegas di tingkat DPR Amerika.
Belajar dari pengalaman pahitnya ketika melaporkan apa yang dialaminya dulu, Shandra juga berharap aparat keamanan dan pihak berwenang -- termasuk perwakilan-perwakilan negara di AS -- lebih mendengar suara korban.
Dari korban, Shandra kini menjelma jadi pahlawan. (Ein/Ism) Baca juga: Tega! 16 Perempuan Indonesia Ditipu dan Ditinggal di Gurun PasirKisah Perempuan Malaysia: Raib dan Jadi `Budak` Selama 30 TahunPutri Arab Saudi Diadili karena Perbudak 5 Wanita di AS
Original Post by: http://g-newstm9.blogspot.com/2014/02/transmedianet-kisah-shandra-woworuntu.html