“Mengingatkan yang SENGAJA dilupakan ! “
Hiruk pikuk pemilihan umum yg akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini semakin memanas. Partai yang merasa posisinya terjepit melakukan manuver dan serangan verbal kepihak lawan. Ada yg melalui media massa, media online bahkan di kampanye-kampanye terbuka. Dari yg mengeluarkan pernyataan terbuka sampai yang ber-sajak ria. Memang menarik, tapi inilah dinamika alam demokrasi.
Yang ingin penulis tekan-kan dalam edisi tulisan ini adalah mengajak pembaca melihat secara jernih ADA APA sebenarnya yg menjadi bahan yg dipakai pihak-pihak lawan yang ingin menjauhkan PDIP dari pemilihnya.
Untuk memulai topic ini pertama-tama, marilah kita kembali ke masa-masa akhir Orde Baru dan awal reformasi. Titik kulminasi dari kehancuran Orde Baru adalah kehancuran total di sector ekonomi yg berakibat kerusuhan rasial dimulai dengan letupan kecil di Situbondo sampai yang dahsyat terjadi di Medan, Jakarta dan Solo pada medio April – Mei 1998. Ekonomi Indonesia berada di titik nadir. Rupiah menembus angka Rp.16.000 per-US Dollar dan roda ekonomi berhenti. Maka jatuh-lah Suharto dan lahirlah era Reformasi. Saat itu interim-presiden Habibie dengan Timor Timur fiasco-nya dan aroma Orba-nya yg terlalu menyengat tidak mendapatkan vote confident dari rakyat. Dengan demikian diputuskan untuk diselenggarakan Pemilu 1999. Saat itu kembali ekonomi yg sempat stabil sesaat kembali terguncang.
Pemilu 1999 yang menjadi tonggak sejarah reformasi berakhir dengan kecacatan fatal. Keblunderan manuver politik yang dimotori Poros Tengah (PAN, PBB, PPP) jilid satu ini berimbas sampai bertahun-tahun kemudian.
Penulis sendiri masih mengingat jelas disaat itu begitu gegap gempitanya massa PDI-P memerahkan Indonesia. Rakyat muak, rakyat marah terhadap Orde Baru dan Golkarnya dan bisa ditebak akhirnya PDIP-lah keluar sebagai pemenang karena rakyat melihat . Yang berhak maju sebagai presiden secara de-facto adalah yang memenangkan pemilu. Namun sayangnya, adalah segelintir oknum tokoh politik dengan agenda-nya sendiri melakukan intirk-intrik kotor atas nama konstitusi dengan mencari celah memakai taktik SARA. Saat itu penulis masih nge-kost di wilayah Kemanggisan Jakarta Barat dan selebaran yang dengan jelas memainkan kartu agama dan dikaitkan dengan gender pemenang pemilu terpampang jelas dipintu warung-warung di sepanjang tempat tinggal penulis.
Megawati yang seharusnya menjadi pemenang ditelikung oleh Poros Tengah dengan memajukan Gus Dur sebagai presiden. Untunglah, Megawati adalah tokoh politik yang sangat negarawan. Beliau mampu mengendalikan akar rumputnya demi keutuhan NKRI. Ini adalah fakta nyata. Namun sayangnya, ketidak puasan Poros Tengah berlanjut dengan manuver politik versi kedua yg jelas-jelas merongrong konstitusi melakukan “impeachment” terhadap presiden yang sah dan yg nyata-nyatanya tidak ada dalam konstitusi Negara saat itu dengan alasan yg sengaja dibuat. Gus Dur hanya diberi kesempatan mengemban kepresidenan tidak lebih dari satu setengah tahun. Dan dengan menjilat ludah-nya sendiri, kelompok oportunis Poros Tengah ini menaikkan Megawati sebagai presiden RI menggantikan Gus Dur. Seharusnya, kalau Poros Tengah gentlemen, apa tidak sebaiknya malah mengusulkan pemilu ulang ? Inilah yg penulis mengibaratkan Poros Tengah ini dengan pepatah “ Nafsu besar tapi tenaga nang hodong !!”. Yang menjadi korbannya pihak oportunis ini bukan saja presiden-presiden berikutnya, namun juga rakyat-lah yang dikorbankan !!
Jadi sudah jelas dari kronologi events diatas dari awal gonjang-ganjing krisis ekonomi Asia 1997 sampai Juli 2001, Indonesia selalu kehilangan momentum untuk recovery ekonominya. Sebagai imbasnya, kas Negara dalam kondisi kosong. Disamping itu, Letter of Intent yang ditanda tangani Suharto dengan IMF membuat Negara ini semakin sengsara.
Keadaan saat itu adalah suatu mimpi buruk bagi siapa-pun presiden-nya. Mari kita berpikir secara jernih sesuai fakta kondisi bahwa kesulitan yang dihadapi Megawati yang sedemikian tinggi itu sangat beruntung sekali dapat dipecahkan oleh team-nya yang kuat. Mari kita pelajari kambali beberapa hal yang menjadi sasaran tembak partai lain mengenai kebijakannya saat itu seperti:
Swastanisasi Aset Negara
Ini topik favorit bagi para politikus oportunis yang lebih mengutamakan kata bombastis daripada fakta kebenaran. Apakah benar Megawati melakukannya secara membabi buta ? Mari kita perhatikan fakta ini. Masa sistem persidensial saat itu merupakan warisan Orde Baru yang dimana presiden itu adalah MANDATARIS MPR. MPR menelurkan ketetapan-ketetapan dimana Presiden diinstruksikan untuk menjalankannya. MPR yang dimotori oleh Poros Tengah menelurkan TAP MPR no.10 tahun 2001 menugaskan Presiden sebagai mandataris MPR untuk untuk tetap melanjutkan kebijakan yang tidak pro rakyat. Dalam bidang ekonomi dan keuangan, Tap MPR ini menugaskan kepada Presiden untuk segera menyusun rencana tindak swastanisasi. Tap MPR No. X tahun 2001 ini juga menugaskan kepada Presiden untuk melakukan penjualan aset-aset yang dikelola oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BBPN).
Jadi disini terlihat jelas, siapa sebenarnya yg memotori penjualan asset bukan? Ini semua terjadi karena saat itu ketidak becus-an para anggota MPR dari masa dua presiden sebelumnya yg tidak berani mengeluarkan TAP yg meneriakkan ketidak adilan ini. Sebagai presiden saat itu Megawati dihadapkan ke suatu kondisi “DAMN YOU DO IT, DAMN YOU DON’T”.
Perlu digaris bawahi disini, adalah presiden setelah Megawati menikmati alam kebebasan tirani IMF, kenapa? Karena di masa pemerintahan Megawati lah, Keputusan pemerintahan Megawati untuk mengakhiri seluruh paket kebijakan IMF pada Desember 2003 ini sesungguhnya telah meletakkan landasan dan menjelaskan mengapa pemerintahan berikutnya tidak lagi terjebak oleh kondisi dan persyaratan yang dipaksakan oleh IMF.
BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)
Ini juga merupakan topic favorit bagi pihak-pihak tertentu yang seakan-akan Megawati-lah yang mengucurkan bantuan tak terkendali itu. Kebijakan BLBI ini adalah ekses dari salah satu kesepakatan IMF dimana diperkuat dengan TAP MPR juga. Oleh TAP MPR jugalah Presiden diinstruksikan untuk memberikan kejelasan hukum terhadap pengusaha yg terlibat BLBI. Maka saat itu dikeluarkanlah keputusan SP3 oleh kejaksaan.
Banyak masyarakat Indonesia tidak tahu sesungguhnya Megawati bahkan telah mengeluarkan suatu perintah untuk mengambil tindakan hukum kepada pihak pengusaha yang tidak menyelesaikan kewajibanannya. Instruksi Presiden No. 8 tahun 2002 yang dibuat oleh Megawati secara tegas telah menugaskan kepada pimpinan Polri dan Kejaksaaan Agung sebagai lembaga utama penegak hukum di Indonesia untuk mengambil tindakan bagi para debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya kepada BPPN. Inpres ini tidak pernah dicabut dan tentu saja seharusnya tetap berlaku sebagai landasan ketentuan hukum untuk memaksa pemerintahan pasca Megawati mengambil tindakan-tindakan hukum.
Sipadan dan Ligitan
Kasus sengketa regional ini sudah terjadi cukup lama bahkan dijaman puncak-puncaknya Orde Baru. Kekalahan ini tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintahan masa Megawati. Patut disesalkan lemahnya diplomasi RI dalam hal sengketa ini. Disinilah titik awal dari keberanian dan kekurang ajaran Malaysia terhadap Negara kita ! Tentunya ini tidak seberapa sakitnya disbanding dengan apa yg dilakukan oleh pemerintahan transisi BJ Habibie yg mengakibatkan Timor Timor lepas dari ibu pertiwi.
Penjualan Gas Tangguh
Ini juga merupakan sasaran tembak empuk pihak lawan yang sayang sekali dengan nyaman menutup fakta dan kenyataan kondisi saat itu. Ingat, tahun 2002 adalah tahun dimana ekonomi masih sangat compang camping karena keblingeran para politisi busuk. Fakta yang terlupakan adalah disaat itu harga jual gas masih terpatok dengan harga minyak yang pada decade itu masih tidak setinggi sekarang dipasar dunia. Satu liter bensin di kota Ottawa ditahun itu hanya sekitar $0.45 dan bandingkan dengan saat ini yang $1.35 per-liter !!
Perlu diperhatikan juga saat itu market untuk gas dunia adalah pasar pembeli bukan penjual. Dimana produsen itu didikte harga dari pasar pembeli. Penjualan dengan system Spot market ini sangat lemah dan salah satu target Indonesia saat itu adalah menambah kas APBN. Hubungan yang terjalin antara Indonesia dengan RRT dimulai dari penghujung era pemerintahan Suharto, dan semakin akrab di pemerintahan Gus Dur, membawa hawa positif dalam bidang ekonomi. RRT bersedia menjadi pembeli Gas Tangguh yang dimana di mata Indonesia saat itu sangat desperate untuk mengaet kepercayaan pihak luar demi economy recovery. Akhirnya memang tidak sia-sia dengan berhasilnya menarik pembeli dari Korea Selatan dan Mexico setelah berhasil menggaet RRT.
Persoalan dikemudian hari mengenai lonjaknya harga gas dunia itu memang sedari awal tidak ada pihak manapun yang bisa memprediksi demikian. Terlepas dari itu, kontrak jangka panjang itu bukan-lah suatu hal yang mengikat kuat. Kontrak ini terbuka celah dimana antara produsen dan konsumen terbuka untuk re-negosiasi. Ini adalah hal yang lumrah dan terjadi dinegara mana-pun. Kenyataan pemerintah SBY di tahun 2006 gagal merenegosiasi harga tersebut disinyalir adanya mis-trust diantara kedua pemerintahan ini dengan apa yang terjadi dengan mis-handling pembelian pesawat Merpati dan Pembangkit Listrik 10.000 MW. Sekali lagi re-negosiasi adalah hal yang lumrah dan bisa diusahakan !!
PDI-P Partai Terkorup
Oke, memang PDI-P tidak terluput dari kubangan korupsi, namun apakah benar tembakan yang menyatakan partai terkorup ? Sesuai versi siapa laporan ini ? Setahu penulis, yg pertama melemparkan isu ini tidak lain adalah SBY yang saat itu partai-nya terguncang maha dahsyat karena kasus mega korupsi Hambalang. Beliau dengan kalap berusaha untuk mengalihkan perhatian. Mari kita pelajari data yang akurat berdasarkan indeks dari KPK Watch update Maret 2014 dibawah ini:
Ternyata oh ternyata, pohon beringin dengan setan-setan-nya masih berdiri kokoh ! Secara logika, PDI-P tidak mungkin menjadi partai terkorup, Kenapa ? Sebagai partai oposisi sejak 2 pemilu lalu, kendali pemerintahan dipegang oleh partai pemenang dan pendukungnya dan otomatis, kesempatan lebih besar ! Kalau memang sekiranya ada anggota PDI-P yg terjerat maka tidak lain hanyalah oknum saja karena secara garis partai yang lebih memilih menepi dari pihak penguasa, sudah pasti akan lebih hati-hati dengan berusaha tidak membuat partai-nya semakin melorot dimata rakyat.
Penjualan Dua Kapal Tanker Pertamina
Ini juga topic yang sangat menarik dijadikan sasaran empuk. Perlu diluruskan disini bukan-lah penjualan fisik asset sebenarnya. Ini adalah pengalihan hak pembelian kapal yang sedang dalam tahap produksi di Korea Selatan. Tentunya, ini atas persetujuan pihak pembuat kapal tersebut. Pengalihan dan pembatalan pembelian ini sering terjadi juga di dunia aviasi dimana hak pembelian order pesawat terbang kadang harus dibatalkan atas alasan ekonomi tertentu dan hak belinya dialihkan ke pihak lain yang lebih membutuhkan saat itu.
Adalah ide mulia dari Dirut Pertamina saat itu yang bernama Baihaki Hakim yang posisinya dipilih sendiri oleh presiden Gus Dur untuk mandiri dalam hal transportasi tanpa harus didikte oleh kartel tanker. Tidak salah, karena sesuai prinsip ekonomi kalau mampu beli kenapa menyewa ? Secara jangka panjang toh ini menguntungkan sekali. Sebagaimana Gus Dur, Dirut satu ini memiliki visioner yang cemerlang. Namum apa daya, kadang visioner itu melupakan hal yang mendesak yaitu realitas ekonomi saat itu ! Ibarat anda memikirkan masa depan yang indah sedang kehidupan hari dan besok belum tentu terlewatkan dengan baik. Perubahan status BUMN yang menjadi Persero menjadikan Pertamina dibebankan untuk meraih laba. Jadi dengan demikian Direksi baru melakukan re-posisi perusahaan dengan memfokus-kan diri ke hal-hal inti dari core business Pertamina ini. Perlu diingat juga, sejak jamannya Ibnu Sutowo Pertamina itu selalu melebarkan diri ke sector bisnis yang tidak berhubungan dengan core businessnya. Alhasil, perusahaan plat merah ini kelimpungan dengan beban hutang yang membengkak dari sector bisnis yg merugikan seperti perhotelan, biro perjalanan dll.
Belajar dari pengalaman itulah direksi baru memutuskan untuk menjual hak pembelian kapal tanker ini dan dengan demikian dapat memperkuat struktur keuangan perusahaan, juga untuk memfokuskan kepada bisnis inti, yakni eksplorasi minyak dan gas bumi (migas). Memang benar, Pertamina diiming-imingkan pembelian yang tidak perlu dibayar dulu karena kredit dari Bank Exim Korea Selatan. Namun, sesuai analisa direksi baru, walaupun tanpa keluar se-senpun namun ini termasuk suatu beban hutang perusahaan jangka panjang. Disamping saat itu kebutuhan masih belum mendesak untuk pemakaian tanker VLCC ini. Pasalnya, selama ini bidang perkapalan tidak termasuk bisnis inti Pertamina tetapi hanya pendukung dari kegiatan produksi migas. Meski pengadaan tanker penting, hal itu bukan merupakan bisnis inti.
Jadi ini sama sekali adalah keputusan bisnis semata sesuai keadaan situasi keuangan perusahaan saat itu dan perbedaan pendapat antara direksi lama dengan kebijaksanaan direksi baru yang kemudian hari dipakai pihak tertentu di internal untuk menggoreng menjadi suatu kasus. Fakta juga berbicara sesuai dengan pengakuan Wasekjen KPK sendiri saat itu yang bernama Erry Riyana Hardjapamekas dari pemeriksaan yang telah dilakukan pihaknya itu diakui memang terdapat perbedaan argumentasi antara direksi lama pimpinan Baihaki Hakim dan direksi Pertamina saat ini Ariffi Nawawi.Namun, semua itu wajar saja. Sejauh ini belum ada indikasi ke arah korupsi.
Sebagai penutup, penulis ingin menggaris bawahi lagi, janganlah kita menelan secara bulat pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh para politisi yang ingin mencuri panggung dengan mengaburkan fakta dan kenyataan dengan memelintirkan kata.
PDI-Perjuangan walau bukan partai malaikat, tapi adalah partai yang konsisten dengan menunjukkan dirinya berada dijalur oposisi dan BELAJAR ! Belajar akan pentingnya regenerasi kepemimpinan, dan kedewasaan berpolitik. Partai yang tidak perlu berkoar-koar “Say NO to Corruption” tapi dengan aksi nyata melahirkkan tokoh kepemimpinan yang bersih seperti Jokowi dan Risma. Jadi wajar kalau partai ini kembali diberi kesempatan untuk mengendalikan bangsa ini. Time almost running out for this nation, the time is NOW or NEVER !! Kita membutuhkan pemimpin yang lurus dan jujur dari partai yang dewasa ! Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang tebebas dari politik dagang sapi.
Hiruk pikuk pemilihan umum yg akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini semakin memanas. Partai yang merasa posisinya terjepit melakukan manuver dan serangan verbal kepihak lawan. Ada yg melalui media massa, media online bahkan di kampanye-kampanye terbuka. Dari yg mengeluarkan pernyataan terbuka sampai yang ber-sajak ria. Memang menarik, tapi inilah dinamika alam demokrasi.
Yang ingin penulis tekan-kan dalam edisi tulisan ini adalah mengajak pembaca melihat secara jernih ADA APA sebenarnya yg menjadi bahan yg dipakai pihak-pihak lawan yang ingin menjauhkan PDIP dari pemilihnya.
Untuk memulai topic ini pertama-tama, marilah kita kembali ke masa-masa akhir Orde Baru dan awal reformasi. Titik kulminasi dari kehancuran Orde Baru adalah kehancuran total di sector ekonomi yg berakibat kerusuhan rasial dimulai dengan letupan kecil di Situbondo sampai yang dahsyat terjadi di Medan, Jakarta dan Solo pada medio April – Mei 1998. Ekonomi Indonesia berada di titik nadir. Rupiah menembus angka Rp.16.000 per-US Dollar dan roda ekonomi berhenti. Maka jatuh-lah Suharto dan lahirlah era Reformasi. Saat itu interim-presiden Habibie dengan Timor Timur fiasco-nya dan aroma Orba-nya yg terlalu menyengat tidak mendapatkan vote confident dari rakyat. Dengan demikian diputuskan untuk diselenggarakan Pemilu 1999. Saat itu kembali ekonomi yg sempat stabil sesaat kembali terguncang.
Pemilu 1999 yang menjadi tonggak sejarah reformasi berakhir dengan kecacatan fatal. Keblunderan manuver politik yang dimotori Poros Tengah (PAN, PBB, PPP) jilid satu ini berimbas sampai bertahun-tahun kemudian.
Penulis sendiri masih mengingat jelas disaat itu begitu gegap gempitanya massa PDI-P memerahkan Indonesia. Rakyat muak, rakyat marah terhadap Orde Baru dan Golkarnya dan bisa ditebak akhirnya PDIP-lah keluar sebagai pemenang karena rakyat melihat . Yang berhak maju sebagai presiden secara de-facto adalah yang memenangkan pemilu. Namun sayangnya, adalah segelintir oknum tokoh politik dengan agenda-nya sendiri melakukan intirk-intrik kotor atas nama konstitusi dengan mencari celah memakai taktik SARA. Saat itu penulis masih nge-kost di wilayah Kemanggisan Jakarta Barat dan selebaran yang dengan jelas memainkan kartu agama dan dikaitkan dengan gender pemenang pemilu terpampang jelas dipintu warung-warung di sepanjang tempat tinggal penulis.
Megawati yang seharusnya menjadi pemenang ditelikung oleh Poros Tengah dengan memajukan Gus Dur sebagai presiden. Untunglah, Megawati adalah tokoh politik yang sangat negarawan. Beliau mampu mengendalikan akar rumputnya demi keutuhan NKRI. Ini adalah fakta nyata. Namun sayangnya, ketidak puasan Poros Tengah berlanjut dengan manuver politik versi kedua yg jelas-jelas merongrong konstitusi melakukan “impeachment” terhadap presiden yang sah dan yg nyata-nyatanya tidak ada dalam konstitusi Negara saat itu dengan alasan yg sengaja dibuat. Gus Dur hanya diberi kesempatan mengemban kepresidenan tidak lebih dari satu setengah tahun. Dan dengan menjilat ludah-nya sendiri, kelompok oportunis Poros Tengah ini menaikkan Megawati sebagai presiden RI menggantikan Gus Dur. Seharusnya, kalau Poros Tengah gentlemen, apa tidak sebaiknya malah mengusulkan pemilu ulang ? Inilah yg penulis mengibaratkan Poros Tengah ini dengan pepatah “ Nafsu besar tapi tenaga nang hodong !!”. Yang menjadi korbannya pihak oportunis ini bukan saja presiden-presiden berikutnya, namun juga rakyat-lah yang dikorbankan !!
Jadi sudah jelas dari kronologi events diatas dari awal gonjang-ganjing krisis ekonomi Asia 1997 sampai Juli 2001, Indonesia selalu kehilangan momentum untuk recovery ekonominya. Sebagai imbasnya, kas Negara dalam kondisi kosong. Disamping itu, Letter of Intent yang ditanda tangani Suharto dengan IMF membuat Negara ini semakin sengsara.
Keadaan saat itu adalah suatu mimpi buruk bagi siapa-pun presiden-nya. Mari kita berpikir secara jernih sesuai fakta kondisi bahwa kesulitan yang dihadapi Megawati yang sedemikian tinggi itu sangat beruntung sekali dapat dipecahkan oleh team-nya yang kuat. Mari kita pelajari kambali beberapa hal yang menjadi sasaran tembak partai lain mengenai kebijakannya saat itu seperti:
Swastanisasi Aset Negara
Ini topik favorit bagi para politikus oportunis yang lebih mengutamakan kata bombastis daripada fakta kebenaran. Apakah benar Megawati melakukannya secara membabi buta ? Mari kita perhatikan fakta ini. Masa sistem persidensial saat itu merupakan warisan Orde Baru yang dimana presiden itu adalah MANDATARIS MPR. MPR menelurkan ketetapan-ketetapan dimana Presiden diinstruksikan untuk menjalankannya. MPR yang dimotori oleh Poros Tengah menelurkan TAP MPR no.10 tahun 2001 menugaskan Presiden sebagai mandataris MPR untuk untuk tetap melanjutkan kebijakan yang tidak pro rakyat. Dalam bidang ekonomi dan keuangan, Tap MPR ini menugaskan kepada Presiden untuk segera menyusun rencana tindak swastanisasi. Tap MPR No. X tahun 2001 ini juga menugaskan kepada Presiden untuk melakukan penjualan aset-aset yang dikelola oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BBPN).
Jadi disini terlihat jelas, siapa sebenarnya yg memotori penjualan asset bukan? Ini semua terjadi karena saat itu ketidak becus-an para anggota MPR dari masa dua presiden sebelumnya yg tidak berani mengeluarkan TAP yg meneriakkan ketidak adilan ini. Sebagai presiden saat itu Megawati dihadapkan ke suatu kondisi “DAMN YOU DO IT, DAMN YOU DON’T”.
Perlu digaris bawahi disini, adalah presiden setelah Megawati menikmati alam kebebasan tirani IMF, kenapa? Karena di masa pemerintahan Megawati lah, Keputusan pemerintahan Megawati untuk mengakhiri seluruh paket kebijakan IMF pada Desember 2003 ini sesungguhnya telah meletakkan landasan dan menjelaskan mengapa pemerintahan berikutnya tidak lagi terjebak oleh kondisi dan persyaratan yang dipaksakan oleh IMF.
BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)
Ini juga merupakan topic favorit bagi pihak-pihak tertentu yang seakan-akan Megawati-lah yang mengucurkan bantuan tak terkendali itu. Kebijakan BLBI ini adalah ekses dari salah satu kesepakatan IMF dimana diperkuat dengan TAP MPR juga. Oleh TAP MPR jugalah Presiden diinstruksikan untuk memberikan kejelasan hukum terhadap pengusaha yg terlibat BLBI. Maka saat itu dikeluarkanlah keputusan SP3 oleh kejaksaan.
Banyak masyarakat Indonesia tidak tahu sesungguhnya Megawati bahkan telah mengeluarkan suatu perintah untuk mengambil tindakan hukum kepada pihak pengusaha yang tidak menyelesaikan kewajibanannya. Instruksi Presiden No. 8 tahun 2002 yang dibuat oleh Megawati secara tegas telah menugaskan kepada pimpinan Polri dan Kejaksaaan Agung sebagai lembaga utama penegak hukum di Indonesia untuk mengambil tindakan bagi para debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya kepada BPPN. Inpres ini tidak pernah dicabut dan tentu saja seharusnya tetap berlaku sebagai landasan ketentuan hukum untuk memaksa pemerintahan pasca Megawati mengambil tindakan-tindakan hukum.
Sipadan dan Ligitan
Kasus sengketa regional ini sudah terjadi cukup lama bahkan dijaman puncak-puncaknya Orde Baru. Kekalahan ini tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintahan masa Megawati. Patut disesalkan lemahnya diplomasi RI dalam hal sengketa ini. Disinilah titik awal dari keberanian dan kekurang ajaran Malaysia terhadap Negara kita ! Tentunya ini tidak seberapa sakitnya disbanding dengan apa yg dilakukan oleh pemerintahan transisi BJ Habibie yg mengakibatkan Timor Timor lepas dari ibu pertiwi.
Penjualan Gas Tangguh
Ini juga merupakan sasaran tembak empuk pihak lawan yang sayang sekali dengan nyaman menutup fakta dan kenyataan kondisi saat itu. Ingat, tahun 2002 adalah tahun dimana ekonomi masih sangat compang camping karena keblingeran para politisi busuk. Fakta yang terlupakan adalah disaat itu harga jual gas masih terpatok dengan harga minyak yang pada decade itu masih tidak setinggi sekarang dipasar dunia. Satu liter bensin di kota Ottawa ditahun itu hanya sekitar $0.45 dan bandingkan dengan saat ini yang $1.35 per-liter !!
Perlu diperhatikan juga saat itu market untuk gas dunia adalah pasar pembeli bukan penjual. Dimana produsen itu didikte harga dari pasar pembeli. Penjualan dengan system Spot market ini sangat lemah dan salah satu target Indonesia saat itu adalah menambah kas APBN. Hubungan yang terjalin antara Indonesia dengan RRT dimulai dari penghujung era pemerintahan Suharto, dan semakin akrab di pemerintahan Gus Dur, membawa hawa positif dalam bidang ekonomi. RRT bersedia menjadi pembeli Gas Tangguh yang dimana di mata Indonesia saat itu sangat desperate untuk mengaet kepercayaan pihak luar demi economy recovery. Akhirnya memang tidak sia-sia dengan berhasilnya menarik pembeli dari Korea Selatan dan Mexico setelah berhasil menggaet RRT.
Persoalan dikemudian hari mengenai lonjaknya harga gas dunia itu memang sedari awal tidak ada pihak manapun yang bisa memprediksi demikian. Terlepas dari itu, kontrak jangka panjang itu bukan-lah suatu hal yang mengikat kuat. Kontrak ini terbuka celah dimana antara produsen dan konsumen terbuka untuk re-negosiasi. Ini adalah hal yang lumrah dan terjadi dinegara mana-pun. Kenyataan pemerintah SBY di tahun 2006 gagal merenegosiasi harga tersebut disinyalir adanya mis-trust diantara kedua pemerintahan ini dengan apa yang terjadi dengan mis-handling pembelian pesawat Merpati dan Pembangkit Listrik 10.000 MW. Sekali lagi re-negosiasi adalah hal yang lumrah dan bisa diusahakan !!
PDI-P Partai Terkorup
Oke, memang PDI-P tidak terluput dari kubangan korupsi, namun apakah benar tembakan yang menyatakan partai terkorup ? Sesuai versi siapa laporan ini ? Setahu penulis, yg pertama melemparkan isu ini tidak lain adalah SBY yang saat itu partai-nya terguncang maha dahsyat karena kasus mega korupsi Hambalang. Beliau dengan kalap berusaha untuk mengalihkan perhatian. Mari kita pelajari data yang akurat berdasarkan indeks dari KPK Watch update Maret 2014 dibawah ini:
Ternyata oh ternyata, pohon beringin dengan setan-setan-nya masih berdiri kokoh ! Secara logika, PDI-P tidak mungkin menjadi partai terkorup, Kenapa ? Sebagai partai oposisi sejak 2 pemilu lalu, kendali pemerintahan dipegang oleh partai pemenang dan pendukungnya dan otomatis, kesempatan lebih besar ! Kalau memang sekiranya ada anggota PDI-P yg terjerat maka tidak lain hanyalah oknum saja karena secara garis partai yang lebih memilih menepi dari pihak penguasa, sudah pasti akan lebih hati-hati dengan berusaha tidak membuat partai-nya semakin melorot dimata rakyat.
Penjualan Dua Kapal Tanker Pertamina
Ini juga topic yang sangat menarik dijadikan sasaran empuk. Perlu diluruskan disini bukan-lah penjualan fisik asset sebenarnya. Ini adalah pengalihan hak pembelian kapal yang sedang dalam tahap produksi di Korea Selatan. Tentunya, ini atas persetujuan pihak pembuat kapal tersebut. Pengalihan dan pembatalan pembelian ini sering terjadi juga di dunia aviasi dimana hak pembelian order pesawat terbang kadang harus dibatalkan atas alasan ekonomi tertentu dan hak belinya dialihkan ke pihak lain yang lebih membutuhkan saat itu.
Adalah ide mulia dari Dirut Pertamina saat itu yang bernama Baihaki Hakim yang posisinya dipilih sendiri oleh presiden Gus Dur untuk mandiri dalam hal transportasi tanpa harus didikte oleh kartel tanker. Tidak salah, karena sesuai prinsip ekonomi kalau mampu beli kenapa menyewa ? Secara jangka panjang toh ini menguntungkan sekali. Sebagaimana Gus Dur, Dirut satu ini memiliki visioner yang cemerlang. Namum apa daya, kadang visioner itu melupakan hal yang mendesak yaitu realitas ekonomi saat itu ! Ibarat anda memikirkan masa depan yang indah sedang kehidupan hari dan besok belum tentu terlewatkan dengan baik. Perubahan status BUMN yang menjadi Persero menjadikan Pertamina dibebankan untuk meraih laba. Jadi dengan demikian Direksi baru melakukan re-posisi perusahaan dengan memfokus-kan diri ke hal-hal inti dari core business Pertamina ini. Perlu diingat juga, sejak jamannya Ibnu Sutowo Pertamina itu selalu melebarkan diri ke sector bisnis yang tidak berhubungan dengan core businessnya. Alhasil, perusahaan plat merah ini kelimpungan dengan beban hutang yang membengkak dari sector bisnis yg merugikan seperti perhotelan, biro perjalanan dll.
Belajar dari pengalaman itulah direksi baru memutuskan untuk menjual hak pembelian kapal tanker ini dan dengan demikian dapat memperkuat struktur keuangan perusahaan, juga untuk memfokuskan kepada bisnis inti, yakni eksplorasi minyak dan gas bumi (migas). Memang benar, Pertamina diiming-imingkan pembelian yang tidak perlu dibayar dulu karena kredit dari Bank Exim Korea Selatan. Namun, sesuai analisa direksi baru, walaupun tanpa keluar se-senpun namun ini termasuk suatu beban hutang perusahaan jangka panjang. Disamping saat itu kebutuhan masih belum mendesak untuk pemakaian tanker VLCC ini. Pasalnya, selama ini bidang perkapalan tidak termasuk bisnis inti Pertamina tetapi hanya pendukung dari kegiatan produksi migas. Meski pengadaan tanker penting, hal itu bukan merupakan bisnis inti.
Jadi ini sama sekali adalah keputusan bisnis semata sesuai keadaan situasi keuangan perusahaan saat itu dan perbedaan pendapat antara direksi lama dengan kebijaksanaan direksi baru yang kemudian hari dipakai pihak tertentu di internal untuk menggoreng menjadi suatu kasus. Fakta juga berbicara sesuai dengan pengakuan Wasekjen KPK sendiri saat itu yang bernama Erry Riyana Hardjapamekas dari pemeriksaan yang telah dilakukan pihaknya itu diakui memang terdapat perbedaan argumentasi antara direksi lama pimpinan Baihaki Hakim dan direksi Pertamina saat ini Ariffi Nawawi.Namun, semua itu wajar saja. Sejauh ini belum ada indikasi ke arah korupsi.
Sebagai penutup, penulis ingin menggaris bawahi lagi, janganlah kita menelan secara bulat pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh para politisi yang ingin mencuri panggung dengan mengaburkan fakta dan kenyataan dengan memelintirkan kata.
PDI-Perjuangan walau bukan partai malaikat, tapi adalah partai yang konsisten dengan menunjukkan dirinya berada dijalur oposisi dan BELAJAR ! Belajar akan pentingnya regenerasi kepemimpinan, dan kedewasaan berpolitik. Partai yang tidak perlu berkoar-koar “Say NO to Corruption” tapi dengan aksi nyata melahirkkan tokoh kepemimpinan yang bersih seperti Jokowi dan Risma. Jadi wajar kalau partai ini kembali diberi kesempatan untuk mengendalikan bangsa ini. Time almost running out for this nation, the time is NOW or NEVER !! Kita membutuhkan pemimpin yang lurus dan jujur dari partai yang dewasa ! Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang tebebas dari politik dagang sapi.