Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Profesor Umar Fahmi Achmadi kepada Kabar24.com, Rabu (21/8), mengatakan kebijakan Dinas Pendidikan Prabumulih Sumatera Selatan untuk melaksanakan tes keperawanan harus dibatalkan.
Alasannya, kebijakan itu belum didukung bukti ilmiah. Selain itu, tes keperawanan bukan satu-satunya cara mengurangi seks bebas maupun prostitusi di kalangan remaja.
Dikatakan, wacanan tes keperawanan sebagai proses penerimaan siswa baru tingkat SMA di Prabumulih Sumatera Selatan bagaikan membawa masyarakat ke zaman purba.
“Tes ini banyak sisi buruknya, ketimbang manfaatnya,” ujar Umar.
Dijelaskan, pecahnya keperawanan atau selaput dara (hymen) bukan hanya karena benda oleh tumpul. Tapi, bisa juga karena berolahraga, kongenital.
“Lagi pula tes itu sifatnya privasi. Hymen bukan parameter terbaik dan satu-satunya cara untuk mengetahui rekam jejak seorang siswa,” jelas Umar.
Ditambahkan, sekolah dalah domain publik, dan tidak hanya untuk anak yang ‘baik-baik’ saja. Oleh karena itu, tegasnya, kebijakan tes keperawanan itu adalah tindakan keliru.
Dia mencontohkan di Australia dilakukan vaksinasi mencegah kanker serviks untuk para pelajar. Kanker ini ditimbulkan oleh perilaku seks bebas. Jadi, bukan tes keperawanan.
Sedangkan psikolog, dosen dan juga aktivis anak Seto Mulyadi menegaskan tes keperawanan untuk siswi SMA dalam proses penerimaan siswa baru oleh Dinas Pendidikan Kota Prabumulih Sumatera Selatan, melanggar hak anak dan UU Perlindungan Anak.
Menurut dia, untuk mencegah atau mengendalikan prostitusi dan seks bebas di kalangan remaja, tes keperawanan tak tepat.
Semestinya, ujar Seto Mulyadi, guru melakukan pendekatan sebagai sahabat remaja. Bukan sebagai bos, sehingga remaja merasa sebagai tertuduh, pesakitan. Padahal, remaja adalah sosok yang gampang meniru. (Kabar24)
Editor:Nancy Junita
Alasannya, kebijakan itu belum didukung bukti ilmiah. Selain itu, tes keperawanan bukan satu-satunya cara mengurangi seks bebas maupun prostitusi di kalangan remaja.
Dikatakan, wacanan tes keperawanan sebagai proses penerimaan siswa baru tingkat SMA di Prabumulih Sumatera Selatan bagaikan membawa masyarakat ke zaman purba.
“Tes ini banyak sisi buruknya, ketimbang manfaatnya,” ujar Umar.
Dijelaskan, pecahnya keperawanan atau selaput dara (hymen) bukan hanya karena benda oleh tumpul. Tapi, bisa juga karena berolahraga, kongenital.
“Lagi pula tes itu sifatnya privasi. Hymen bukan parameter terbaik dan satu-satunya cara untuk mengetahui rekam jejak seorang siswa,” jelas Umar.
Ditambahkan, sekolah dalah domain publik, dan tidak hanya untuk anak yang ‘baik-baik’ saja. Oleh karena itu, tegasnya, kebijakan tes keperawanan itu adalah tindakan keliru.
Dia mencontohkan di Australia dilakukan vaksinasi mencegah kanker serviks untuk para pelajar. Kanker ini ditimbulkan oleh perilaku seks bebas. Jadi, bukan tes keperawanan.
Sedangkan psikolog, dosen dan juga aktivis anak Seto Mulyadi menegaskan tes keperawanan untuk siswi SMA dalam proses penerimaan siswa baru oleh Dinas Pendidikan Kota Prabumulih Sumatera Selatan, melanggar hak anak dan UU Perlindungan Anak.
Menurut dia, untuk mencegah atau mengendalikan prostitusi dan seks bebas di kalangan remaja, tes keperawanan tak tepat.
Semestinya, ujar Seto Mulyadi, guru melakukan pendekatan sebagai sahabat remaja. Bukan sebagai bos, sehingga remaja merasa sebagai tertuduh, pesakitan. Padahal, remaja adalah sosok yang gampang meniru. (Kabar24)
Editor:Nancy Junita