Mahabrata asalnya memang dari India walaupun di Indonesia cerita ini sudah terjalin erat dengan budaya dan tradisi kita, terutama budaya Jawa dan Bali. Chittra Banerji Divakaruni Chitra Banerjee Divakaruni, seorang penulis keturunan India yang saat ini tinggal di US, menuliskan interpretasinya tentang Mahabrata melalui kacamata Drupadi (Dropadi/Panchali). Menjadikan buku berjudul Istana Khayalan (judul asli: The Palace of Illusions) ini sangat menarik untuk dibaca.
Dalam cerita Mahabrata di Indonesia (termasuk cerita wayang) hal-hal yang diteropong selalu tentang keunggulan ahlak Pandawa dari Korawa yang menjadikan mereka manusia mumpuni tanpa kekurangan. Walaupun ayah-ayah Pandawa sebenarnya bukan Pandu tapi dewa-dewa, hal ini tidak bisa membuat Pandawa lantas menjadi manusia-manusia sempurna tanpa kekurangan. Sehingga banyak area abu-abu dalam kisah yang menggambarkan pertempuran antara kebenaran melawan kebathilan, antara terang melawan kegelapan.
Divakaruni melalui tokoh si aku (Drupadi) menulis ulang sebuah kisah yang sudah terkenal ini menjadi kisah tentang seorang perempuan. Walaupun jalan cerita tidak berubah, tetapi percakapan-percakapan tentang perasaan Drupadi terhadap suami-suaminya maupun madunya sangat relevan untuk dunia masa kini. Misalnya hubungan cinta Drupadi dengan Krisna yg platonis atau hubungan menantu-mertua dengan Kunti yang penuh persaingan .
Beberapa tokoh penafsirannya menjadi sangat berbeda dengan cerita mahabrata versi Indonesia seperti Gatotkaca yang gagah berani tapi tidak bisa terbang, pertempuran di Kurusetra menjadi sangat Lord of the Ring, sampai petualangan terakhir menuju moksa yaitu perjalanan mahaprastra, mendaki Himalaya dalam keadaan suci sebagai penebusan dosa-dosa.
Diterjemahkan oleh Gramedia, harga buku ini sesuai untuk kenikmatan membacanya. Puitis, dramatis sekaligus penuh dengan gejolak hati setiap manusia.
Saat membaca tokoh Narada (Semar di dalam versi Indonesia) membuat saya teringat pada Suharto (alm). “Bapak Pembangunan Indonesia” ini selalu mengidentifikasikan diri dengan Semar sebagai lambang seorang tokoh yg sebenarnya berkedudukan tinggi (Setara Dewa) tapi hidup sederhana mengabdi para Pandawa. Tapi dari dalam buku ini Narada adalah tokoh licik dan berbahaya yang senang membuat provokasi dan keributan di benua Bharat (Barata). Walaupun wajahnya selalu menyunggingkan senyum, tapi tidak ada yang tahu apa yang sedang ada di benaknya. Jadi “Bapak Pembangunan” kita lebih cocok ke penafsiran Narada yang mana ya?
Ah, maaf kita akhiri saja review ini sebelum melebar kemana-mana. Dalang sudah menyuruh Gong penutup dipukul, cerita diakhiri dan layarpun ditutup.
Dalam cerita Mahabrata di Indonesia (termasuk cerita wayang) hal-hal yang diteropong selalu tentang keunggulan ahlak Pandawa dari Korawa yang menjadikan mereka manusia mumpuni tanpa kekurangan. Walaupun ayah-ayah Pandawa sebenarnya bukan Pandu tapi dewa-dewa, hal ini tidak bisa membuat Pandawa lantas menjadi manusia-manusia sempurna tanpa kekurangan. Sehingga banyak area abu-abu dalam kisah yang menggambarkan pertempuran antara kebenaran melawan kebathilan, antara terang melawan kegelapan.
Divakaruni melalui tokoh si aku (Drupadi) menulis ulang sebuah kisah yang sudah terkenal ini menjadi kisah tentang seorang perempuan. Walaupun jalan cerita tidak berubah, tetapi percakapan-percakapan tentang perasaan Drupadi terhadap suami-suaminya maupun madunya sangat relevan untuk dunia masa kini. Misalnya hubungan cinta Drupadi dengan Krisna yg platonis atau hubungan menantu-mertua dengan Kunti yang penuh persaingan .
Beberapa tokoh penafsirannya menjadi sangat berbeda dengan cerita mahabrata versi Indonesia seperti Gatotkaca yang gagah berani tapi tidak bisa terbang, pertempuran di Kurusetra menjadi sangat Lord of the Ring, sampai petualangan terakhir menuju moksa yaitu perjalanan mahaprastra, mendaki Himalaya dalam keadaan suci sebagai penebusan dosa-dosa.
Diterjemahkan oleh Gramedia, harga buku ini sesuai untuk kenikmatan membacanya. Puitis, dramatis sekaligus penuh dengan gejolak hati setiap manusia.
Saat membaca tokoh Narada (Semar di dalam versi Indonesia) membuat saya teringat pada Suharto (alm). “Bapak Pembangunan Indonesia” ini selalu mengidentifikasikan diri dengan Semar sebagai lambang seorang tokoh yg sebenarnya berkedudukan tinggi (Setara Dewa) tapi hidup sederhana mengabdi para Pandawa. Tapi dari dalam buku ini Narada adalah tokoh licik dan berbahaya yang senang membuat provokasi dan keributan di benua Bharat (Barata). Walaupun wajahnya selalu menyunggingkan senyum, tapi tidak ada yang tahu apa yang sedang ada di benaknya. Jadi “Bapak Pembangunan” kita lebih cocok ke penafsiran Narada yang mana ya?
Ah, maaf kita akhiri saja review ini sebelum melebar kemana-mana. Dalang sudah menyuruh Gong penutup dipukul, cerita diakhiri dan layarpun ditutup.